ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014.Anis Ibrahim.

PENETAPAN KAWASAN HUTAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU-IX/2011 PERSPEKTIF YURIDIS-NORMATIF)

Anis Ibrahim
– Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang –
Jalan Mahakam No. 7 Lumajang
anisibrahim18@gmail.com

ABSTRAK
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 menimbulkan polemik tafsir karena isi putusannya mengandung dualisme status kawasan hutan. Hal ini disebabkan frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 dihapus, sementara frasa tersebut tetap dipertahankan eksistensinya dalam Pasal 81 UU No. 41/1999. Hasil analisis menyimpukan bahwa penunjukkan kawasan hutan sebelum Putusan MK itu bersifat indikatif dan belum bersifat definitif yang final mengikat. Penunjukkan kawasan hutan yang ada adalah proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan yang berakhir pada penetapan kawasan hutan.
Kata Kunci: Penetapan, Kawasan Hutan, Indikatif, Definitif.

A. Pendahuluan
Wilayah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia. Namun, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat, juga pemerintah secara sadar mengeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan state revenue yang paling diandalkan setelah minyak dan gas bumi.
Sejak empat dekade terakhir ini Indonesia memang mengalami deforestasi yang cukup besar. Data deforestasi nasional tahun 1985-1997, tidak termasuk Papua, tercatat seluas rata-rata 1,6 juta hektar/tahun. Dari hasil pengamatan citra landsat tahun 2000 diketahui bahwa deforestasi periode 1997-2000 mencapai rata-rata 2,83 juta hektar/tahun untuk lima pulau besar, termasuk Maluku dan Papua. Berdasarkan data terbaru, deforestasi tahun 2001-2003 turun menjadi di bawah 1,5 juta hektar per tahun.
Kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41/199) disebutkan sebagai “ … wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Meski dalam Penjelasan dikatakan cukup jelas, namun bagi sebagian masyarakat tidak demikian, bahkan dipertanyakan aspek konstitusionalitasnya.
Terkait dengan problem konstitusionalitas terhadap kawasan hutan tersebut, pada tahun 2010, lima bupati di Kalimantan Tengah dan seorang pengusaha mengajukan gugatan terhadap UU No. 41/1999 kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara yang terregister No. 45/PUU-IX/2011 untuk menguji konstitusionalitas kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan tersebut.
Pada prinsipnya MK memutuskan dua hal: Pertama, bahwa frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 1 angka 3, UU No. 41/1999 bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU No. 41/1999 menggunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 tersebut tetap sah dan mengikat.
Menurut Menhut Zulkifli Hasan, Putusan MK No. 45 justru menguatkan kewenangan pemerintah pusat. Putusan MK atas Pasal 1 Angka 3 UU No. 41/1999 menegaskan peta penunjukan kawasan hutan tetap berlaku sehingga pemanfaatan hutan harus mengacu tata guna hutan kesepakatan tahun 1986.
Perhutani menyatakan dengan pertimbangan MK tentang kedudukan Pasal 81 UU No. 41/1999, maka kawasan hutan wilayah kerja Perum Perhutani yang telah ditunjuk dan Berita Acara Tata Batasnya (BATB) disahkan oleh pejabat yang bewenang pada masa pemerintahan Kolonial Belanda berdasarkan peraturan perundang-undangan kehutanan yang berlaku pada saat itu, maka harus tetap diakui status hukumnya sebagai kawasan hutan.
Namun, beberapa pihak justru kontra pendapat terhadap pemerintah. Yance Arizona et.al. menyatakan: ”… semua tanah yang telah ditunjuk untuk dijadikan kawasan hutan sebelum berlakunya UU No. 41/1999 pada 30 September 1999 harus diposisikan sebagai penunjukan kawasan hutan. Oleh karena itu perlu dilanjutkan dengan penatabatasan, pemetaan dan kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan.”

B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat tersebut di atas, permasalahan yang diangkat dan akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi yuridis terhadap penetapan kawasan hutan yang sudah ada selama ini pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011? Hal ini didasarkan pada suatu fakta terjadinya perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap Putusan MK dimaksud. Analisis terhadap permasalahan ini dilakukan dengan perspektif yuridis normatif.

C. Studi Pustaka dan Analisis
1. Tentang Kawasan Hutan
Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya. Sementara itu UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan pengertian kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 adalah “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai statusnya, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.
Eksistensi areal yang ditetapkan sebagai kawasan hutan niscaya melalui suatu pengukuhan yang dilakukan secara bertahap. Secara normatif perihal pengukuhan kawasan hutan diatur dalam Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Kawasan hutan Indonesia ditetapkan oleh Menhut dalam bentuk Surat Keputusan Menhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi. Penunjukan kawasan hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Peunjukan kawasan hutan mencakup pula kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Tahun 1981, telah ditetapkan Peta Kawasan Hutan dalam TGHK. Namun, Peta kawasan hutan dalam TGHK yang telah ditetapkan tahun 1981 tersebut dinilai sebagian pihak masih memiliki kelemahan-kelemahan, hingga perlu dikaji ulang untuk diserasikan dengan RTRW Provinsi. Muncullah Peta Paduserasi Kawasan Hutan yang merupakan hasil harmonisasi TGHK dengan RTRWP.

2. Makna Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Dalam perspektif sistem ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) (Pasal 1 angka 1 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi/UUMK). Keberadaan MK di dalam kekuasaan kehakiman adalah sebagai penjaga konstitusi (the quardian of the constitution), yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional (Pasal 51 ayat (1) UU MK).
Pembentukan MK merupakan konsekuensi logis pengawalan konstitusi atas pergeseran konsep demokrasi parlemen (parliamentary democracy) menuju demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang menjunjung tinggi konstitusi (supemacy of the constitution). Atas dasar tersebut, pelaksanaan demokrasi dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa MK merupakan badan peradilan ketatanegaraan sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945. MK tidak hanya merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), tetapi juga merupakan lembaga penafsir akhir konstitusi (the last interpreter of the constitution) dan lembaga pelindung hak konstitusioal warga negara (the protector of constitutional rights of citizens) (Penjelasan umum UUMK)
MK mempunyai kewenangan sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Amandemen ketiga yang berbunyi :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review) didasarkan pada paham supremasi konstitusi yang kemudian diintrodusir dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sehingga menempatkan konstitusi sebagai the supreme law of the land. Constitutional review merupakan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi mengenai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi.
Secara konseptual, ruang lingkup constitutional review terdiri atas pengujian konstitusionalitas norma dan pengujian konstitusionalitas tindakan. Mengenai pengujian konstitusionalitas norma yaitu segala peraturan perundang-undangan. Sedangkan mengenai pengujian konstitusionalitas tindakan adalah tindakan pejabat negara, seperti keputusan pejabat negara. Pengajuan konstitusionalitas tersebut dilakukan ketika ada warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi sehingga kemudian diajukan kepada MK untuk diperiksa, diadili, dan diputus secara adil yang berdasarkan pada konstitusi. Dalam hal ini, ruang lingkup constitutonal review secara substansi berkaitan erat dengan pengaduan konsitusional (constitutional complaint).
Hukum acara MK mengenal dua asas putusan, yaitu asas putusan yang bersifat final dan Asas putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga omnes). Putusan bersifat final, artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh. Sedangkan pengertian mempunyai kekuatan hukum mengikat (erga omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Putusan MK bersifat erga omnes mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya.
Dengan demikian, putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam persidangan. Sedangkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Hal tersebut juga berarti tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh para pencari keadilan (justiciable).

3. Analisis Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan Implikasinya Terhadap Penetapan Kawasan Hutan
Perkara No. 45/PUU-IX/2011 adalah perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh lima orang Bupati dari Kalimantan Tengah dan satu pengusaha untuk menguji konstitusionalitas kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Lima bupati yang mengajukan gugatan tersebut merupakan bupati-bupati yang berada dalam wilayah administratif provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan pengusaha tersebut adalah Akhmad Taufik.
Pada intinya, pemohon mengajukan permohonan kepada MK dengan mendalilkan bahwa berlakunya Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999, khususnya frasa ”ditunjuk dan atau” menyebabkan kerugian hak konstitusional pemohon, antara lain menyebabkan: (1) tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya; (2) tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya; (3) tidak dapat mengimplementasikan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan peraturan daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena seluruh wilayahnya masuk sebagai kawasan hutan; (4) Dapat dipidana karena memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa izin atau memberikan izin usaha yang menurut penunjukan termasuk dalam kawasan hutan; (5) Hak kebendaan dan hak miliknya atas tanah dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena berada di dalam kawasan hutan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan, bahwa frasa “ditunjuk dan atau” yang ada di dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 bertentangan dengan konstitusi dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan kata lain, para pemohon menghendaki perubahan Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 dari:
”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
menjadi:
”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Dalam putusannya tanggal 21 Pebruari 2012, MK menyampaikan pertimbangan hukum sebelum memberikan putusan atas permohonan tersebut pada bagian “Pendapat Mahkamah” yang secara ringkasadalah sebagai berikut:
1) Dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies ermessen. Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter;
2) Antara pengertian dalam Pasal 1 angka 3 dan ketentuan Pasal 15 UU No. 41/1999 terdapat perbedaan. Pasal 15 ayat (1) UU No. 41/1999 menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sementara itu “penunjukan” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap menurut Pasal 15 ayat 1 UU No. 41/1999;
3) Tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 41/1999 sejalan dengan asas negara hukum. Dengan ketentuan tersebut harus memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan yang harus dikeluarkan dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
4) Penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 bertentangan dengan asas negara hukum. Selain itu frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 UU No. 41/1999.
5) Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum berlakunya UU ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan UU ini”, menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU No. 41/1999 mempergunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 UU No. 41/1999 tetap sah dan mengikat;
Kemudian MK memutuskan di antara sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2) Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perubahan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945;
3) Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Putusan MK tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sejak dibacakan oleh Hakim MK dalam persidangan tanggal 21 Februari 2012. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap adalah memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Sedangkan pada makna final dan mengikat (binding) dari putusan MK adalah keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Hal tersebut juga berarti tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh justiciable. Artinya, sejak putusan tersebut keluar, maka sudah berlaku dan segera untuk dieksekusi.
Namun faktanya, Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tersebut menimbulkan polemik tafsir berkaitan dengan kejelasan dan cakupan status kawasan hutan yang berlaku sekarang. Hal ini didasarkan pada Putusan MK No. 45 tersebut yang menampilkan dualisme tentang status kawasan hutan. Berdasakan Putusan MK No. 45, terhadap kawasan hutan yang telah ditunjuk Menhut sebelum tanggal 21 Pebruari 2012 berarti kawasan hutan tersebut niscaya dimaknai telah ditetapkan sebagai kawasan hutan (vide Pasal 81 UU No. 41/1999). Sedangkan areal hutan setelah tanggal 21 Pebruari 2012 yang belum ditunjuk sebagai kawasan hutan yang akan dijadikan kawasan hutan harus melalui proses pengukuhan hutan lebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutun (vide Pasal 1 ayat 3 UU No. 41/1999).
Ibarat anak kunci, putusan MK yang membatalkan frasa ‘ditunjuk dan atau’ pada pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999, adalah pembuka kotak pandora persoalan pemanfaatan ruang hutan. Pasca putusan MK bernomor 45/PUU-IX/2011 tersebut, persoalan pemanfaatan ruang hutan yang sebelumnya memang sudah rumit, menjadi semakin kusut. Pasalnya, semua pihak menafsirkan putusan tersebut menurut versinya sendiri.
Direktur Program Tropenbos International Petrus Gunarso mengibaratkan putusan MK tersebut ”tsunami” sektor kehutanan karena terkait dengan pemanfaatan kawasan hutan yang sudah ada. Namun, dia menilai, saat ini merupakan momentum penataan kawasan hutan berjenjang dari tingkat rakyat sampai ke pemerintah pusat. Langkah ini sangat relevan untuk mengatasi konflik sosial yang bermunculan saat ini. Sementara itu, Yance Arizona menyatakan bahwa putusan MK tersebut ”Tidak mengubah kedudukan kawasan hutan yang simpang siur sampai hari ini. Bahkan menimbulkan tafsir yang beragam setelah putusan tersebut dibacakan oleh hakim konstitusi”.
Menhut menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor : S.E.3/Men-hut-II/2002yang ditujukan kepada seluruh kepala daerah dan kepala dinas yang membidangi kehutanan seluruh Indonesia, yang intinya: a. Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi maupun parsial yang telah diterbitkan Menhut serta segala perbuatan hukum yang timbul dari berlakunya UU No. 41/1999 tetap sah dan mempunyai hukum mengikat dan b. Keputusan Menteri tentang penunjukan kawasan hutan baik provinsi maupun parsial yang diterbitkan Menhut setelah Putusan MK tetap sah dan dimaknai sebagai penetapan awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan UU No. 41/1999.
Menhut menyatakan bahwa dengan putusan MK tersebut maka kawasan hutan menjadi jelas dan pasti. Kawasan hutan kini merujuk kepada TGHK yang sudah ditetapkan pada tahun 1983. Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut juga mengungkap hal senada bahwa “Keputusan MK tidak berdampak negatif terhadap kepastian kawasan hutan Indonesia.” Keputusan MK hendaknya tidak hanya dibaca amar putusannya saja, tetapi harus secara menyeluruh. Dia merujuk kepada poin 3.14 putusan MK bernomor 45/PUU-IX/2011 itu.
Sebelum Putusan MK No. 45, semua wilayah hutan yang ada di seluruh Provinsi di Indonesia telah ditunjuk melalui SK Menhut. Salah satu contohnya adalah kawasan hutan di Jawa Timur, telah ditunjuk melalui SK Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 417/Kepts-II/199 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Seluas 1.357.206,30 (Satu Juta Tiga Ratus Lima Puluh Tujuh Ribu Dua Ratus Enam dan Tiga Puluh Perseratus) Hektar.
Dengan menggunakan landasan Pasal 81 UU No. 41/1999 (yang tidak dibatalkan MK), maka frasa “Penunjukan” dalam Keputusan Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 berarti sama dengan frasa “Penetapan”. Ini artinya bahwa menurut tafsir Menhut bahwa kawasan hutan yang ada di Provinsi Jawa Timur tersebut adalah telah ditetapkan dan dengan demikian sah sebagai kawasan hutan.
Tafsir hukum yang dikemukakan pihak Kemenhut tersebut niscaya kurang komprehensif. Seharusnya pihak Kemenhut juga mengacu Pasal 15 UU No. 41/1999 yang juga tidak dibatalkan. Pasal 15 menentukan bahwa: Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan, c. pemetaan kawasan hutan, dan d. penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan tersebut dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Jika demikian halnya, maka legalitas kawasan hutan yang dibingkai melalui penunjukan oleh SK Menhut tersebut belum final sebagai penetapan kawasan hutan. Dalam kasus kawasan hutan di Provinsi Jawa Timur, manakala ditelaah lebih jauh amar putusan angka 4 Keputusan Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 yang berbunyi “Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan untuk mengatur pelaksanaan penataan batas dan penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Amar PERTAMA sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”, menunjukkan bahwa “penunjukan” tersebut tidak sama dengan “penetapan”, sebab Dirjen Planogi Kehutanan diperintahkan untuk mengatur pelaksanaan penataan batas dan penetapan kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Menhut tersebut.
Dengan demikian, SK Menhut tentang penunjukan kawasan hutan yang ada sebelum Putusan MK No. 45 meski “sah dan mengikat” namun bersifat indikatif (arahan) dan bukan definitif (memutuskan status kawasan hutan). Hal ini disebabkan di dalamnya masih terdapat berbagai hak lainnya seperti hak-hak perorangan maupun hak ulayat. Hak-hak seperti ini niscaya akan dikeluarkan pada tahap berikutnya, serta diindikasikan dengan skala peta relatif kecil yaitu 1 : 250.000 yang tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan adanya hak-hak perorangan maupun hak ulayat.
Sah dan mengikat yang bersifat indikatif tersebut niscaya dimaknai bersifat sementara, yaitu sebagai dasar penetapan status hak-hak perorangan dan ulayat maupun hak-hak lainnya pada tahap berikutnya. Dalam pelaksanaannya, hasil-hasil penataan batas definitif yang telah disepakati pihak-pihak terkait melalui Panitia Tata Batas hendaknya tetap dapat digunakan sebagai batas definitif.
Dengan demikian niscaya dibaca bahwa pasca Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 terkait dengan SK Menhut tentang penunjukkan kawasan hutan yang diterbitkan sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 adalah bersifat indikatif yakni yang menginformasikan kawasan hutan yang ditunjuk oleh Menhut tersebut baru proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan yang nantinya berujung pada penetapan yang final dan mengikat atas suatu kawasan hutan dimaksud. Sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 41/1999, proses pengukuhan kawasan hutan tersebut memalui 4 tahapan yakni: (1) penunjukan kawasan hutan, (2) penataan batas kawasan hutan, (3) pemetaan kawasan hutan, dan (4) penetapan kawasan hutan. Dalam proses pengukuhan kawasan hutan tersebut selayaknya dilakukan dengan partisipatif agar sesuai dengan arahan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 bahwa pengukuhan kawasan hutan yang tidak partisipatif merupakan cerminan pemerintahan yang otoriter.

D. Penutup
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 terkait dengan status kawasan hutan telah menimbulkan polemik tafsir karena isi putusannya mengandung dualisme status kawasan hutan. Hal ini disebabkan pada satu sisi frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 dinyatakan inkonstitusional sehingga harus dihapus, pada saat yang bersamaan frasa “ditunjuk dan atau” tetap dipertahankan eksistensinya dalam Pasal 81 UU No. 41/1999.
Pihak Pemerintah (Menhut) menafsirkan bahwa dengan tidak dihapuskannya frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 81 UU No. 41/1999 menjadi jelas dan pasti tentang status kawasan hutan yang ada selama ini. Artinya, kawasan hutan yang telah ditunjuk sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tetap sah dan berlaku sebagai kawasan hutan. Dengan demikian penunjukan sama dengan penetapan. Namun dari kalangan masyarakat tidak sependapat dengan tafsir dari Menhut. Mereka berpendapat bahwa justru eksistensi kawasan hutan pasca Putusan MK tersebut menjadi tidak jelas.
Berdasarkan hasil analisis yuridis, maka dapat diketengahkan bahwa penunjukkan kawasan hutan yang ada sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 niscaya bersifat indikatif. Artinya, penunjukan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menhut untuk seluruh kawasan hutan yang berada di wilayah provinsi belum bersifat definitif. Penunjukkan haruslah diposisikan sebagai proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan yang berakhir pada penetapan kawasan hutan.
—–

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rosyid Thalib (2006) Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.Citra Aditya Bakti, Bandung
Arsyad Sanusi (2009) “Putusan MK Bersifat Erga Omnes.” Majalah Konstitusi, Nomor 32 Tahun 2009, Sekretaria Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Hariadi Kartodihardjo (2012) ”Darurat Legalitas Kawasan Hutan”. Dalam http://hukum. kompasiana.com/2012/08/14/ darurat-legalitas-kawasan-hutan-485326.html
http://agroindonesia.co.id/2012/02/29/kawasan-hutan-kembali-ke-tghk/
http://agroindonesia.co.id/2012/07/03/kotak-pandora-itu-terbuka/
http://lmdhsm.blogspot.com/2011/03/hutan-dan-pemanasan-global.html
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/Menhut.Penetapan.Balik.ke.aturan. lama
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/Menhut.Penetapan.Balik.keaturan. lama
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/pengertian-hutan-definisi-hutan.html
http://petatematikindo.wordpress.com/2013/01/06/kawasan-hutan/
http://www.dephut.go.id
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h_MRJPK2RmmZikIid6SAXayb4cxLFevivqp-Q/edit?pli=1
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h_MRJPK2RmmZikIid6SAXayb4cxLFevivqpQ/ edit?pli=1
I Dewa Gede Palguna (2008) Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta
I Nyoman Nurjaya (2005) “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia”. Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005.
Jimly Asshiddiqie (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie (2008) Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi (2010) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Moh. Saleh (tt) “Putusan” Mahkamah Konstitusi Atas Pendapat DPR Ri Mengenai Impeachment Presiden Dan/Atau Wakil Presiden. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI – mFILES | Manajemen Files Narotama
Yance Arizona “Ramai-ramai Mempersoalkan Kawasan Hutan. Dalam https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h MRJP K2RmmZikIid6SAXayb4cxLFevivqpQ/edit?pli=1
Zainal Arifin Hoesein (2010) Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Rajawali Pers, Jakarta.

Tinggalkan komentar