ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014.Anis Ibrahim.

PENETAPAN KAWASAN HUTAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU-IX/2011 PERSPEKTIF YURIDIS-NORMATIF)

Anis Ibrahim
– Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang –
Jalan Mahakam No. 7 Lumajang
anisibrahim18@gmail.com

ABSTRAK
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 menimbulkan polemik tafsir karena isi putusannya mengandung dualisme status kawasan hutan. Hal ini disebabkan frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 dihapus, sementara frasa tersebut tetap dipertahankan eksistensinya dalam Pasal 81 UU No. 41/1999. Hasil analisis menyimpukan bahwa penunjukkan kawasan hutan sebelum Putusan MK itu bersifat indikatif dan belum bersifat definitif yang final mengikat. Penunjukkan kawasan hutan yang ada adalah proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan yang berakhir pada penetapan kawasan hutan.
Kata Kunci: Penetapan, Kawasan Hutan, Indikatif, Definitif.

A. Pendahuluan
Wilayah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia. Namun, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat, juga pemerintah secara sadar mengeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan state revenue yang paling diandalkan setelah minyak dan gas bumi.
Sejak empat dekade terakhir ini Indonesia memang mengalami deforestasi yang cukup besar. Data deforestasi nasional tahun 1985-1997, tidak termasuk Papua, tercatat seluas rata-rata 1,6 juta hektar/tahun. Dari hasil pengamatan citra landsat tahun 2000 diketahui bahwa deforestasi periode 1997-2000 mencapai rata-rata 2,83 juta hektar/tahun untuk lima pulau besar, termasuk Maluku dan Papua. Berdasarkan data terbaru, deforestasi tahun 2001-2003 turun menjadi di bawah 1,5 juta hektar per tahun.
Kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41/199) disebutkan sebagai “ … wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Meski dalam Penjelasan dikatakan cukup jelas, namun bagi sebagian masyarakat tidak demikian, bahkan dipertanyakan aspek konstitusionalitasnya.
Terkait dengan problem konstitusionalitas terhadap kawasan hutan tersebut, pada tahun 2010, lima bupati di Kalimantan Tengah dan seorang pengusaha mengajukan gugatan terhadap UU No. 41/1999 kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara yang terregister No. 45/PUU-IX/2011 untuk menguji konstitusionalitas kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan tersebut.
Pada prinsipnya MK memutuskan dua hal: Pertama, bahwa frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 1 angka 3, UU No. 41/1999 bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU No. 41/1999 menggunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 tersebut tetap sah dan mengikat.
Menurut Menhut Zulkifli Hasan, Putusan MK No. 45 justru menguatkan kewenangan pemerintah pusat. Putusan MK atas Pasal 1 Angka 3 UU No. 41/1999 menegaskan peta penunjukan kawasan hutan tetap berlaku sehingga pemanfaatan hutan harus mengacu tata guna hutan kesepakatan tahun 1986.
Perhutani menyatakan dengan pertimbangan MK tentang kedudukan Pasal 81 UU No. 41/1999, maka kawasan hutan wilayah kerja Perum Perhutani yang telah ditunjuk dan Berita Acara Tata Batasnya (BATB) disahkan oleh pejabat yang bewenang pada masa pemerintahan Kolonial Belanda berdasarkan peraturan perundang-undangan kehutanan yang berlaku pada saat itu, maka harus tetap diakui status hukumnya sebagai kawasan hutan.
Namun, beberapa pihak justru kontra pendapat terhadap pemerintah. Yance Arizona et.al. menyatakan: ”… semua tanah yang telah ditunjuk untuk dijadikan kawasan hutan sebelum berlakunya UU No. 41/1999 pada 30 September 1999 harus diposisikan sebagai penunjukan kawasan hutan. Oleh karena itu perlu dilanjutkan dengan penatabatasan, pemetaan dan kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan.”

B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat tersebut di atas, permasalahan yang diangkat dan akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi yuridis terhadap penetapan kawasan hutan yang sudah ada selama ini pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011? Hal ini didasarkan pada suatu fakta terjadinya perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap Putusan MK dimaksud. Analisis terhadap permasalahan ini dilakukan dengan perspektif yuridis normatif.

C. Studi Pustaka dan Analisis
1. Tentang Kawasan Hutan
Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya. Sementara itu UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan pengertian kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 adalah “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai statusnya, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.
Eksistensi areal yang ditetapkan sebagai kawasan hutan niscaya melalui suatu pengukuhan yang dilakukan secara bertahap. Secara normatif perihal pengukuhan kawasan hutan diatur dalam Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Kawasan hutan Indonesia ditetapkan oleh Menhut dalam bentuk Surat Keputusan Menhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi. Penunjukan kawasan hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Peunjukan kawasan hutan mencakup pula kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Tahun 1981, telah ditetapkan Peta Kawasan Hutan dalam TGHK. Namun, Peta kawasan hutan dalam TGHK yang telah ditetapkan tahun 1981 tersebut dinilai sebagian pihak masih memiliki kelemahan-kelemahan, hingga perlu dikaji ulang untuk diserasikan dengan RTRW Provinsi. Muncullah Peta Paduserasi Kawasan Hutan yang merupakan hasil harmonisasi TGHK dengan RTRWP.

2. Makna Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Dalam perspektif sistem ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) (Pasal 1 angka 1 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi/UUMK). Keberadaan MK di dalam kekuasaan kehakiman adalah sebagai penjaga konstitusi (the quardian of the constitution), yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional (Pasal 51 ayat (1) UU MK).
Pembentukan MK merupakan konsekuensi logis pengawalan konstitusi atas pergeseran konsep demokrasi parlemen (parliamentary democracy) menuju demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang menjunjung tinggi konstitusi (supemacy of the constitution). Atas dasar tersebut, pelaksanaan demokrasi dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa MK merupakan badan peradilan ketatanegaraan sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945. MK tidak hanya merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), tetapi juga merupakan lembaga penafsir akhir konstitusi (the last interpreter of the constitution) dan lembaga pelindung hak konstitusioal warga negara (the protector of constitutional rights of citizens) (Penjelasan umum UUMK)
MK mempunyai kewenangan sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Amandemen ketiga yang berbunyi :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review) didasarkan pada paham supremasi konstitusi yang kemudian diintrodusir dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sehingga menempatkan konstitusi sebagai the supreme law of the land. Constitutional review merupakan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi mengenai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi.
Secara konseptual, ruang lingkup constitutional review terdiri atas pengujian konstitusionalitas norma dan pengujian konstitusionalitas tindakan. Mengenai pengujian konstitusionalitas norma yaitu segala peraturan perundang-undangan. Sedangkan mengenai pengujian konstitusionalitas tindakan adalah tindakan pejabat negara, seperti keputusan pejabat negara. Pengajuan konstitusionalitas tersebut dilakukan ketika ada warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi sehingga kemudian diajukan kepada MK untuk diperiksa, diadili, dan diputus secara adil yang berdasarkan pada konstitusi. Dalam hal ini, ruang lingkup constitutonal review secara substansi berkaitan erat dengan pengaduan konsitusional (constitutional complaint).
Hukum acara MK mengenal dua asas putusan, yaitu asas putusan yang bersifat final dan Asas putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga omnes). Putusan bersifat final, artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh. Sedangkan pengertian mempunyai kekuatan hukum mengikat (erga omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Putusan MK bersifat erga omnes mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya.
Dengan demikian, putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam persidangan. Sedangkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Hal tersebut juga berarti tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh para pencari keadilan (justiciable).

3. Analisis Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan Implikasinya Terhadap Penetapan Kawasan Hutan
Perkara No. 45/PUU-IX/2011 adalah perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh lima orang Bupati dari Kalimantan Tengah dan satu pengusaha untuk menguji konstitusionalitas kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Lima bupati yang mengajukan gugatan tersebut merupakan bupati-bupati yang berada dalam wilayah administratif provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan pengusaha tersebut adalah Akhmad Taufik.
Pada intinya, pemohon mengajukan permohonan kepada MK dengan mendalilkan bahwa berlakunya Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999, khususnya frasa ”ditunjuk dan atau” menyebabkan kerugian hak konstitusional pemohon, antara lain menyebabkan: (1) tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya; (2) tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya; (3) tidak dapat mengimplementasikan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan peraturan daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena seluruh wilayahnya masuk sebagai kawasan hutan; (4) Dapat dipidana karena memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa izin atau memberikan izin usaha yang menurut penunjukan termasuk dalam kawasan hutan; (5) Hak kebendaan dan hak miliknya atas tanah dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena berada di dalam kawasan hutan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan, bahwa frasa “ditunjuk dan atau” yang ada di dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 bertentangan dengan konstitusi dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan kata lain, para pemohon menghendaki perubahan Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 dari:
”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
menjadi:
”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Dalam putusannya tanggal 21 Pebruari 2012, MK menyampaikan pertimbangan hukum sebelum memberikan putusan atas permohonan tersebut pada bagian “Pendapat Mahkamah” yang secara ringkasadalah sebagai berikut:
1) Dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies ermessen. Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter;
2) Antara pengertian dalam Pasal 1 angka 3 dan ketentuan Pasal 15 UU No. 41/1999 terdapat perbedaan. Pasal 15 ayat (1) UU No. 41/1999 menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sementara itu “penunjukan” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap menurut Pasal 15 ayat 1 UU No. 41/1999;
3) Tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 41/1999 sejalan dengan asas negara hukum. Dengan ketentuan tersebut harus memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan yang harus dikeluarkan dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
4) Penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 bertentangan dengan asas negara hukum. Selain itu frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 UU No. 41/1999.
5) Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum berlakunya UU ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan UU ini”, menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU No. 41/1999 mempergunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 UU No. 41/1999 tetap sah dan mengikat;
Kemudian MK memutuskan di antara sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2) Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perubahan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945;
3) Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Putusan MK tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sejak dibacakan oleh Hakim MK dalam persidangan tanggal 21 Februari 2012. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap adalah memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Sedangkan pada makna final dan mengikat (binding) dari putusan MK adalah keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Hal tersebut juga berarti tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh justiciable. Artinya, sejak putusan tersebut keluar, maka sudah berlaku dan segera untuk dieksekusi.
Namun faktanya, Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tersebut menimbulkan polemik tafsir berkaitan dengan kejelasan dan cakupan status kawasan hutan yang berlaku sekarang. Hal ini didasarkan pada Putusan MK No. 45 tersebut yang menampilkan dualisme tentang status kawasan hutan. Berdasakan Putusan MK No. 45, terhadap kawasan hutan yang telah ditunjuk Menhut sebelum tanggal 21 Pebruari 2012 berarti kawasan hutan tersebut niscaya dimaknai telah ditetapkan sebagai kawasan hutan (vide Pasal 81 UU No. 41/1999). Sedangkan areal hutan setelah tanggal 21 Pebruari 2012 yang belum ditunjuk sebagai kawasan hutan yang akan dijadikan kawasan hutan harus melalui proses pengukuhan hutan lebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutun (vide Pasal 1 ayat 3 UU No. 41/1999).
Ibarat anak kunci, putusan MK yang membatalkan frasa ‘ditunjuk dan atau’ pada pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999, adalah pembuka kotak pandora persoalan pemanfaatan ruang hutan. Pasca putusan MK bernomor 45/PUU-IX/2011 tersebut, persoalan pemanfaatan ruang hutan yang sebelumnya memang sudah rumit, menjadi semakin kusut. Pasalnya, semua pihak menafsirkan putusan tersebut menurut versinya sendiri.
Direktur Program Tropenbos International Petrus Gunarso mengibaratkan putusan MK tersebut ”tsunami” sektor kehutanan karena terkait dengan pemanfaatan kawasan hutan yang sudah ada. Namun, dia menilai, saat ini merupakan momentum penataan kawasan hutan berjenjang dari tingkat rakyat sampai ke pemerintah pusat. Langkah ini sangat relevan untuk mengatasi konflik sosial yang bermunculan saat ini. Sementara itu, Yance Arizona menyatakan bahwa putusan MK tersebut ”Tidak mengubah kedudukan kawasan hutan yang simpang siur sampai hari ini. Bahkan menimbulkan tafsir yang beragam setelah putusan tersebut dibacakan oleh hakim konstitusi”.
Menhut menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor : S.E.3/Men-hut-II/2002yang ditujukan kepada seluruh kepala daerah dan kepala dinas yang membidangi kehutanan seluruh Indonesia, yang intinya: a. Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi maupun parsial yang telah diterbitkan Menhut serta segala perbuatan hukum yang timbul dari berlakunya UU No. 41/1999 tetap sah dan mempunyai hukum mengikat dan b. Keputusan Menteri tentang penunjukan kawasan hutan baik provinsi maupun parsial yang diterbitkan Menhut setelah Putusan MK tetap sah dan dimaknai sebagai penetapan awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan UU No. 41/1999.
Menhut menyatakan bahwa dengan putusan MK tersebut maka kawasan hutan menjadi jelas dan pasti. Kawasan hutan kini merujuk kepada TGHK yang sudah ditetapkan pada tahun 1983. Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut juga mengungkap hal senada bahwa “Keputusan MK tidak berdampak negatif terhadap kepastian kawasan hutan Indonesia.” Keputusan MK hendaknya tidak hanya dibaca amar putusannya saja, tetapi harus secara menyeluruh. Dia merujuk kepada poin 3.14 putusan MK bernomor 45/PUU-IX/2011 itu.
Sebelum Putusan MK No. 45, semua wilayah hutan yang ada di seluruh Provinsi di Indonesia telah ditunjuk melalui SK Menhut. Salah satu contohnya adalah kawasan hutan di Jawa Timur, telah ditunjuk melalui SK Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 417/Kepts-II/199 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Seluas 1.357.206,30 (Satu Juta Tiga Ratus Lima Puluh Tujuh Ribu Dua Ratus Enam dan Tiga Puluh Perseratus) Hektar.
Dengan menggunakan landasan Pasal 81 UU No. 41/1999 (yang tidak dibatalkan MK), maka frasa “Penunjukan” dalam Keputusan Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 berarti sama dengan frasa “Penetapan”. Ini artinya bahwa menurut tafsir Menhut bahwa kawasan hutan yang ada di Provinsi Jawa Timur tersebut adalah telah ditetapkan dan dengan demikian sah sebagai kawasan hutan.
Tafsir hukum yang dikemukakan pihak Kemenhut tersebut niscaya kurang komprehensif. Seharusnya pihak Kemenhut juga mengacu Pasal 15 UU No. 41/1999 yang juga tidak dibatalkan. Pasal 15 menentukan bahwa: Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan, c. pemetaan kawasan hutan, dan d. penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan tersebut dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Jika demikian halnya, maka legalitas kawasan hutan yang dibingkai melalui penunjukan oleh SK Menhut tersebut belum final sebagai penetapan kawasan hutan. Dalam kasus kawasan hutan di Provinsi Jawa Timur, manakala ditelaah lebih jauh amar putusan angka 4 Keputusan Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 yang berbunyi “Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan untuk mengatur pelaksanaan penataan batas dan penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Amar PERTAMA sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”, menunjukkan bahwa “penunjukan” tersebut tidak sama dengan “penetapan”, sebab Dirjen Planogi Kehutanan diperintahkan untuk mengatur pelaksanaan penataan batas dan penetapan kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Menhut tersebut.
Dengan demikian, SK Menhut tentang penunjukan kawasan hutan yang ada sebelum Putusan MK No. 45 meski “sah dan mengikat” namun bersifat indikatif (arahan) dan bukan definitif (memutuskan status kawasan hutan). Hal ini disebabkan di dalamnya masih terdapat berbagai hak lainnya seperti hak-hak perorangan maupun hak ulayat. Hak-hak seperti ini niscaya akan dikeluarkan pada tahap berikutnya, serta diindikasikan dengan skala peta relatif kecil yaitu 1 : 250.000 yang tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan adanya hak-hak perorangan maupun hak ulayat.
Sah dan mengikat yang bersifat indikatif tersebut niscaya dimaknai bersifat sementara, yaitu sebagai dasar penetapan status hak-hak perorangan dan ulayat maupun hak-hak lainnya pada tahap berikutnya. Dalam pelaksanaannya, hasil-hasil penataan batas definitif yang telah disepakati pihak-pihak terkait melalui Panitia Tata Batas hendaknya tetap dapat digunakan sebagai batas definitif.
Dengan demikian niscaya dibaca bahwa pasca Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 terkait dengan SK Menhut tentang penunjukkan kawasan hutan yang diterbitkan sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 adalah bersifat indikatif yakni yang menginformasikan kawasan hutan yang ditunjuk oleh Menhut tersebut baru proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan yang nantinya berujung pada penetapan yang final dan mengikat atas suatu kawasan hutan dimaksud. Sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 41/1999, proses pengukuhan kawasan hutan tersebut memalui 4 tahapan yakni: (1) penunjukan kawasan hutan, (2) penataan batas kawasan hutan, (3) pemetaan kawasan hutan, dan (4) penetapan kawasan hutan. Dalam proses pengukuhan kawasan hutan tersebut selayaknya dilakukan dengan partisipatif agar sesuai dengan arahan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 bahwa pengukuhan kawasan hutan yang tidak partisipatif merupakan cerminan pemerintahan yang otoriter.

D. Penutup
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 terkait dengan status kawasan hutan telah menimbulkan polemik tafsir karena isi putusannya mengandung dualisme status kawasan hutan. Hal ini disebabkan pada satu sisi frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 dinyatakan inkonstitusional sehingga harus dihapus, pada saat yang bersamaan frasa “ditunjuk dan atau” tetap dipertahankan eksistensinya dalam Pasal 81 UU No. 41/1999.
Pihak Pemerintah (Menhut) menafsirkan bahwa dengan tidak dihapuskannya frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 81 UU No. 41/1999 menjadi jelas dan pasti tentang status kawasan hutan yang ada selama ini. Artinya, kawasan hutan yang telah ditunjuk sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tetap sah dan berlaku sebagai kawasan hutan. Dengan demikian penunjukan sama dengan penetapan. Namun dari kalangan masyarakat tidak sependapat dengan tafsir dari Menhut. Mereka berpendapat bahwa justru eksistensi kawasan hutan pasca Putusan MK tersebut menjadi tidak jelas.
Berdasarkan hasil analisis yuridis, maka dapat diketengahkan bahwa penunjukkan kawasan hutan yang ada sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 niscaya bersifat indikatif. Artinya, penunjukan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menhut untuk seluruh kawasan hutan yang berada di wilayah provinsi belum bersifat definitif. Penunjukkan haruslah diposisikan sebagai proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan yang berakhir pada penetapan kawasan hutan.
—–

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rosyid Thalib (2006) Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.Citra Aditya Bakti, Bandung
Arsyad Sanusi (2009) “Putusan MK Bersifat Erga Omnes.” Majalah Konstitusi, Nomor 32 Tahun 2009, Sekretaria Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Hariadi Kartodihardjo (2012) ”Darurat Legalitas Kawasan Hutan”. Dalam http://hukum. kompasiana.com/2012/08/14/ darurat-legalitas-kawasan-hutan-485326.html
http://agroindonesia.co.id/2012/02/29/kawasan-hutan-kembali-ke-tghk/
http://agroindonesia.co.id/2012/07/03/kotak-pandora-itu-terbuka/
http://lmdhsm.blogspot.com/2011/03/hutan-dan-pemanasan-global.html
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/Menhut.Penetapan.Balik.ke.aturan. lama
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/Menhut.Penetapan.Balik.keaturan. lama
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/pengertian-hutan-definisi-hutan.html
http://petatematikindo.wordpress.com/2013/01/06/kawasan-hutan/
http://www.dephut.go.id
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h_MRJPK2RmmZikIid6SAXayb4cxLFevivqp-Q/edit?pli=1
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h_MRJPK2RmmZikIid6SAXayb4cxLFevivqpQ/ edit?pli=1
I Dewa Gede Palguna (2008) Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta
I Nyoman Nurjaya (2005) “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia”. Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005.
Jimly Asshiddiqie (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie (2008) Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi (2010) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Moh. Saleh (tt) “Putusan” Mahkamah Konstitusi Atas Pendapat DPR Ri Mengenai Impeachment Presiden Dan/Atau Wakil Presiden. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI – mFILES | Manajemen Files Narotama
Yance Arizona “Ramai-ramai Mempersoalkan Kawasan Hutan. Dalam https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h MRJP K2RmmZikIid6SAXayb4cxLFevivqpQ/edit?pli=1
Zainal Arifin Hoesein (2010) Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Rajawali Pers, Jakarta.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014. Suhariyono

IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBERIAN ASIMILASI KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB LUMAJANG

– Suhariyono –
– Fakultas Hukum Universitas Lumajang –
Jl. Musi No. 12 Lumajang

ABSTRAK
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan ”Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”. Berkaitan dengan hal tersebut dalam penelitian ini akan dibuktikan apakah pemenuhan hak asasi dalam bentuk asimilasi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan sudah dijalankan serta aspek apa saja yang mempengaruhinya.
Kata kunci : Penerapan, Asimilasi, Lembaga Pemasyarakatan

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan, salah satu upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan pemberian asimilasi. Pelaksanaan pemberian hak-hak warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo. Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana yang dipidana satu tahun ke atas, di luar Lembaga Pemasyarakatan untuk beberapa waktu sebesar remisi terakhir maksimum 6 (enam) bulan, setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik.
Sering terjadi kerancuan penafsiran antara cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan pidana bersyarat. Untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal penahanan dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Sisa masa pidana tidak perlu dijalani selama ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan untuk itu. Sedangkan untuk pidana bersyarat, hukuman terhadap terpidana tetap dijatuhkan tetapi tidak perlu dijalani, kecuali jika dikemudian hari ternyata terpidana sebelum habis masa percobaan berbuat sesuatu tindak pidana lagi atau melanggar syarat-syarat yang diberikan kepadanya oleh hakim, jadi keputusan hukum tetap ada hanya pelaksanaan hukuman itu yang tidak dilaksanakan.
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan: ”Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”. Berkaitan dengan hal tersebut dalam penelitian ini peneliti ingin membuktikan apakah pemenuhan hak asasi dalam bentuk asimilasi kepada narapidana sudah dijalankan.serta aspek apa saja yang mempengaruhinya.
Dasar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 adalah sebagai sarana penunjang pelaksanaan hak-hak warga binaan. Dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan hak-hak warga binaan diatur dan dijamin, mengingat adanya pengakuan hak-hak asasi manusia dan nilai kemanusiaan mengharuskan mereka diperlakukan sebagai subjek, dimana kedudukannya sejajar dengan manusia lain.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian Asimilasi bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Lumajang?
2. Bagaimanakah pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan Asimilasi?

II. METODE PENELITIAN
2.1. Metode Penelitian
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data atau fakta yang didapat di lapangan, sehingga didapatkan hasil yang sebenarnya dari obyek penelitian sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti yakni tentang pemberian hak asimilasi kepada narapidana sebagai implementasi Hak Asasi Manusia yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Lumajang.
Data sekunder ini diperoleh dari bahan-bahan hukum yang terdiri atas: a. Bahan Hukum Primer, b. Bahan Hukum Sekunder, dan c. Bahan Hukum Tersier. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan jalan mengumpulkan dokumen-dokumen yang ada di Lembaga Pemasyarakatan serta Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Yurisprodensi, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tahap analisis data dapat diartikan sebagai penggolongan data dalam pola, tema atau kategori. Intepretasi data dimaksudkan untuk memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola dan kategori, dan mencari hubungan antara antara berbagai konsep. Dengan metode deskriptif kualitatif ini pembahasan dititikberatkan kepada pendekatan yuridis normatif, sehingga sistem analisis lebih mengarah pada pemecahan masalah dari rumusan masalah yang sudah ditetapkan sebelumnya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pelaksanaan pemberian Asimilasi di Lembaga Pemasyarakat-an Klas IIB Lumajang
Pemberian Asimilasi yang merupakan hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kabupaten Lumajang sudah dilaksanakan sesuai ketentuan dan peraturan tentang pelaksanaan asimilasi. Adapun faktor pendukung dalam pelaksanaan pemberian asimilasi adalah:
a. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan
Dalam proses pembinaan Narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi: 1. Sarana Gedung Pemasyarakatan, 2. Pembinaan Narapidana, dan 3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
b. Syarat-syarat dan Prosedur Pemberian Asimilasi
Narapidana dapat diberi Asimilasi, pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas, apabila memenuhi persyaratan substantif dan administratif sebagaimana Permenkumham Nomor: M.2.PK.04-10 Tahun 2007 yang disebutkan bahwa Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberi Asimilasi apabila telah memenuhi persyaratan substantif dan administratif. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh Narapidana adalah:
a) telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b) telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
c) berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
d) masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan;
e) berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir dan Cuti Bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir;
f) masa pidana yang telah dijalani oleh Narapidana untuk, Asimilasi 1/2 (setengah) dari masa pidananya, sedangkan Pembebasan Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan, kemudian untuk Cuti Menjelang Bebas, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan, selanjutnya untuk Cuti Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan dengan ketentuan apabila selama menjalani cuti melakukan tindak pidana baru maka selama di luar LAPAS tidak dihitung sebagai masa menjalani pidana.
c. Pelaksanaan Pemberian Asimilasi.
Sebagai wujud penerapan hak-hak napi maka Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan hingga petunjuk pelaksanaannya. Salah satu contoh Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas, dan Pembebasan Bersyarat. Pemberiaan remisi kepada Narapidana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Pasal 34 dan Pasal 34 A yaitu: (1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi, (2) Remisi sebagaimana dimaksud pada angka 1 yaitu diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan antara lain :
a) berkelakuan baik; dan
b) telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Mengenai hak Narapidana yang mendapatkan remisi sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2006 bahwa remisi bagi Narapidana diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan, sehingga pemberian remisi melalui Keputusan Menteri. Dalam PP tersebut ditentukan bahwa setiap Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak mendapatkan Asimilasi diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila:
a) berkelakuan baik;
b) dapat mengikuti program pembinaan dengan baik; dan
c) telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana.
Bagi Anak Negara dan Anak Sipil, asimilasi diberikan setelah menjalani masa pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Anak 6 (enam) bulan pertama. Pasal 1 ayat (4), bahwa bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, kejahatan transnasional yang terorganisasi, dan Asimilasi dapat diberikan apabila memenuhi beberapa persyaratan: a) berkelakuan baik; b) dapat mengikuti program pembinaan dengan baik; dan c) telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
Pertimbangan untuk mendapatkan Asimilasi wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum dan rasa keadilan masyarakat, sebagaimana diatur pada ayat (5). Asimilasi dapat dicabut apabila Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan melanggar ketentuan Asimilasi. Menurut Pasal (2), Pasal (3), Pasal ( 4 ) Permenkumham Nomor: M.2.PK.04-10 Tahun 2007 dilaksanakan sesuai dengan asas-asas dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintah dan pembangunan serta berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, harus bermanfaat bagi pribadi dan keluarga Narapidana serta tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat.
Menurut Permenkumham Nomor: M.2.PK.04-10 Tahun 2007, untuk mendapatkan Asimilasi ada dasar perhitungannya, yaitu sebagai berikut:
a) sejak ditahan;
b) apabila masa penahanan terputus, perhitungan penetapan lamanya masa menjalani pidana dihitung sejak penahanan terakhir;
c) apabila ada penahanan rumah dan/atau penahanan kota, maka masa penahanan tersebut dihitung sesuai ketentuan yang berlaku;
d) perhitungan 1/3, 1/2 atau 2/3 masa pidana adalah 1/3, 1/2, atau 2/3 kali (masa pidana dikurangi remisi) dan dihitung sejak ditahan.
Semua pelaksanaan Asimilasi yang dilakukan atau yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Lumajang juga mengacu kepada Permenkumham, sehingga tidak menimbulkan permasalahan, pengertian pemberian Asimilasi kepada Narapidana tetap diberikan dan tanpa diminta oleh Narapidana yang bersangkutan, petugas Lapas tetap menghitung dan melengkapi semua persyaratan yang dibutuhkan guna pengajuan Asimilasi.
Pemberian Asimilasi kepada Narapidana sebagaimana diatur dalam Permenkumham Nomor : M.2.PK.04-10 Tahun 2007 ada 3 (tiga) macam:
a) Asimilasi Minimum; Dalam Asimilasi ini diberikan kepada Narapidana tetapi yang bersangkutan hanya dapat beraktivitas hanya diseputaran sel/blok tempat Narapidana dengan disertai pengawalan ketat dari petugas.
b) Asimilasi Medium; Asimilasi Medium pada prinsipnya hampir sama dengan yang lain hanya saja yang membedakan bahwa Narapidana agak lebih leluasa dalam melakukan aktivitasnya namun hanya disekitar areal Lembaga Pemasyarakatan.dan tanpa pengawalan dari petugas Lapas.
c) Asimilasi Maksimum; Narapidana sudah memiliki keleluasaan untuk melakukan aktivitas hingga keluar areal Lembaga Pemasyarakatan, dan tanpa mendapatkan pengawalan dari Petugas Lapas sehingga Narapidana sudah bisa beradaptasi dan bersosialisasi dengan masyarakat disekitar Lembaga Pemasyarakatan.
Kewenangan pemberian Asimilasi kepada Narapidana merupakan kewenangan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia seperti yang disebutkan dalam BAB III Pasal (10 ) Permenkumham Nomor: M.2.PK.04-10 Tahun 2007, yaitu:
d. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar Narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga Narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.
Saat seorang Narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak Narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi Narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.
e. Pengawasan, Pencabutan Ijin Asimilasi dan Pemberian Sanksi yang Melanggar Ketentuan Asimilasi Bagi Narapidana
Pengawasan Narapidana yang sedang melaksanakan Asimilasi untuk kegiatan pendidikan, bimbingan agama dan kegiatan sosial LAPAS dilaksanakan secara tertutup oleh petugas LAPAS yang berpakaian dinas, sedangkan untuk Narapidana yang Asimilasi kerja diluar LAPAS pengawasannya dilaksanakan oleh petugas LAPAS dengan memberitahukan kepada pihak kepolisian, pemerintah daerah, dan hakim wasmat setempat (Keputusan Menkumham Nomor M.01. PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas pasal 21), untuk warga negara asing, Asimilasi Narapidana mengikutsertakan kantor imigrasi setempat.
Kepala LAPAS berkewajiban melakukan evaluasi perihal pelaksanaan Asimilasi, melaporkan tentang pelaksanaan dan hasil evaluasi, memelihara data pelaksanaan Asimilasi kepada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan .
Alasan Asimilasi dapat dicabut apabila: a. Malas bekerja; b. Mengulangi tindak pidana; c. Menimbulkan keresahan dalam masyarakat; dan d. Melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan Asimilasi. Apabila alasan pencabutan Asimilasi disebabkan karena Narapidana melakukan tindak pidana, Kepala LAPAS melaporkan kepada Kepolisian dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Sanksi yang diberikan untuk Narapidana yang telah dicabut izin Asimilasinya antara lain: a. Untuk tahun pertama setelah dilakukan pencabutan tidak dapat diberikan remisi; dan b. Untuk pencabutan kedua kalinya selama menjalani masa pidananya tidak dapat diberikan Asimilasi.
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat tidak diberikan lepada Narapidana yang kemungkinan akan terancam jiwanya atau Narapidana yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup atau Warga negara asing yang diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat nama yang bersangkutan dimasukkan dalam Daftar Pencegahan dan Penangkalan pada Direktorat Jenderal Imigrasi atau Narapidana warga negara asing yang akan dimasukkan dalam Daftar Pencegahan dan pencekalan yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri.

3.2. Pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan
Beberapa hal yang dapat menjadi dasar kelahiran pembinaan Narapidana dalam pemasyarakatan antara lain :
– Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilang kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan.
– Memperlakukan Narapidana ialah harus dari sudut pandangan kepribadian bangsa Indonesia yang memandang :
1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagi manusia, meskipun ia telah tersesat; tidak boleh selalu ditunjukkan pada Narapidana bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.
2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup diluar masyarakat, Narapidana harus kembali kemasyarakat sebagai warga yang berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang.
3. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya Narapidana mempunyai mata pencaharian dan mendapatkan upah untuk pekerjaannya. Pandangan inilah yang melandasi pemikiran mengenai Asimilasi, khususnya Asimilasi kerja yang nantinya diharapkan dapat membantu perekonomian Narapidana dan keluarganya dengan upah atau penghasilan yang didapatkannya dari kerjanya.
– Perlakuan terhadap Narapidana agar dapat dikembalikan kemasyarakat ialah dengan mendidik Narapidana tersebut antara lain dengan cara:
1. Selama ia hilang kemerdekaan bergerak ia harus dikenalkan dengan masyarakat, dan tidak boleh diasingkan daripadanya.
2. Pekerjaan dan didikan yang diberikan kepadanya tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawaban kepenjaraan atau kepentingan negara sewaktu saja. Pekerjaan harus satu dengan masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional.
3. Bimbingan dan didikannya harus berdasarkan Pancasila.
4. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kemballi oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Tata Cara Pemberian Asimilasi, pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas, secara administratif diatur tata cara untuk mendapatkan hak pemenuhan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) LAPAS atau TPP RUTAN setelah mendengar pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan pembinaan dari Wali Pemasyarakatan, mengusulkan pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat kepada Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN dan apabila Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya menerbitkan keputusan Asimilasi, untuk Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat, apabila Kepala LAPAS menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Depkumham setempat untuk Pembebasan Bersyarat, apabila Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Depkumham setempat, dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan akan tetapi Kepala Kantor Wilayah Depkumham dapat menolak atau menyetujui tentang usul Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat, atau Pembebasan Bersyarat setelah mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa untuk memperoleh Asimilasi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yaitu syarat administratif, substantif dan berkelakuan baik. Narapidana yang menjalani upaya pembinaan baik Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas, harus sesuai dengan tahapan-tahapan proses pemasyarakatan yaitu tahap admisi atau orientasi, tahap pemberian bekal, dan tahap akhir pembinaan. Ada 2 macam bentuk kegiatan Asimilasi yaitu Asimilasi intern dan Asimilasi ekstern. Adapun faktor penghambat yang timbul dalam pelaksanaan Asimilasi adalah:
a) Tidak semua masyarakat memahami sistem/proses pemasyarakatan, walaupun dalam pelaksanaannya sesuai prosedural tetapi kasus tersebut termasuk kasus yang menarik masyarakat, sehingga bisa menjadi hal kontroversi antara sistem pembinaan dan pemahaman masyarakat, tanggapan masyarakat yang negatif terhadap Narapidana sebagai penjahat yang harus dikucilkan;
b) Lembaga-lembaga sosial atau dinas-dinas pemerintahan belum pro aktif mempedulikan warga binaan pemasyarakatan, belum ada kerjasama yang baik, teratur, dan berkesinambungan atau kerjasama pembinaan dengan instansi terkait belum terprogram maksimal;
c) Peranan petugas pemasyarakatan begitu besar sehingga tidak diimbangi dengan keprofesionalan petugas itu sendiri sehingga kurang pengawasan dalam pelaksanaan Asimilasi, dan belum ada petugas pemasyarakatan yang mempunyai keahlian dan bertugas khusus terutama dalam pembinaan;
d) Anggaran Rutan yang sangat minim sehingga pembinaan tidak berjalan maksimal dan kurang memadainya sarana dan fasilitas yang tesedia untuk pembinaan;
e) Adanya pengaruh keluarga dari Narapidana sendiri yang sengaja tidak melakukan komunikasi karena hanya ingin memberikan efek jera terhadap Narapidana karena perbuatannya yang sudah dilakukan berulangkali, artinay sengaja dikucilkan oleh keluarga Narapidana sendiri;
f) Kesulitan komunikasi antara Petugas dengan keluarga Narapidana karena bertempat tinggal yang sangat jauh antara daerah asal Narapidana dengan Lembaga Pemasyarakatan yang ditempati oleh Narapidana.
a. Sistem Perubahan Pembinaan Terhadap Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan
Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Lumajang dikenal suatu perubahan penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif.
b. Sistem Pemasyarakatan Bagi Narapidana
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Reintegrasi sosial merupakan proses pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan pembimbingan dan pengawasan BAPAS.
Proses pembimbingan yang mengarah pada reintegrasi social tersebut dapat berupa pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas. Cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan Narapidana dan anak pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana sekurang-kurangnya 9 (Sembilan) bulan berkelakuan baik. Undang-undang Pemasyarakatan sebagai peraturan induk sistem pemasyarakatan telah dilengkapi dengan PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Permenkumham Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, serta petunjuk pelaksanaan Menteri Kehakiman Nomor E-39-PR.05.03 Tahun 1987 tentang Pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Serangkaian peraturan perundang-undangan tersebut memberikan arah mengenai pelaksanaan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan sebagai pelaksana cuti menjelang bebas dalam Lembaga Pemasyarakatan , khususnya IIB Lumajang.
Peran BAPAS dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas dapat dilakukan dengan menganalisis secara kualitatif beberapa contoh pembimbingan klien dewasa, dan klien yang dijadikan obyek dalam penelitian ini adalah sebanyak dua klien dewasa yang menjalani cuti menjelang bebas di BAPAS Kelas IIB Lumajang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap kedua klien di atas diketahui bahwa BAPAS Kelas IIB Lumajang telah berperan dalam pembimbingan klien yang menjalani cuti menjelang bebas (CMB). Peran Pembimbing Kemasyarakatan terhadap klien Cuti Menjelang Bebas dilakukan secara langsung oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan dengan menjadi fasilitator, melakukan pengawasan dan pengamatan atas perkembangan klien Cuti
Menjelang Bebas serta membuat laporan pembimbingan tahap awal yang terkait dengan latar belakang klien mulai dari diri klien, keluarga, pendidikan, dan kemasyarakatan. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan terjalin subsistem yang terkait dengan program Cuti Menjelang Bebas, pemenuhan hak klien dewasa atas cuti menjelang bebas, srta peran petugas Pembimbing Kemasyaratan untuk mewujudkan tujuan cuti menjelang bebas (CMB) yang luhur.
c. Perwujudan Konkret Pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam Bentuk Asimilasi
Program kebijakan pembinaan Narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan meliputi: 1. Asimilasi, dan 2. Reintegrasi Sosial
Terkait dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia kepada Narapidana dalam bentuk Asimilasi yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Lumajang sudah dijalankan dengan benar oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan. sebagai wujud konkret pemenuhan Hak Asasi Manusia tanpa harus diminta oleh Narapidana, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana mengatur setiap orang diakui sebagai manusia yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang mana sesuai dengan martabat kemanusianya didepan hukum. . Selanjutnya untuk melengkapi bahwa Pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap Hak-Hak Narapidana yang memperoleh Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lumajang pada Tahun 2011, dalam bentuk tabel seperti dibawah ini :

DATA LAPORAN ASIMILASI NARA PIDANA
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B LUMAJANG TAHUN 2011
Bulan Asimilasi yang diperoleh Perolehan
CB PB CMB TGL BLN THN
1. Januari 5 1 1 1,3,19,23,31,24 Jan. 2011 Realisasi
2. Februari 1 3 – 3,11,21, Feb. 2011 Realisasi
3. Maret 4 4 – 9,14,16,30 Maret 2011 Realisasi
4. April 1 4 – 1,4,6,13,23 April 2011 Realisasi
5. Mei 2 5 – 15,19,20,22,24 Mei 2011 Realisasi
6. Juni 1 2 1 12,27,29,9 Juni 2011 Realisasi
7. Juli 2 1 – 1,10,11 Juli 2011 Realisasi
8. Agustus 4 5 – 3,12,18,19 Agst 2011 Realisasi
9. September – 1 – 5 Sept 2011 Realisasi
10 Oktober – 3 – 6,27 Okt. 2011 Realisasi
11 Nopember 3 – – 14 Nop.. 2011 Realisasi
23 29 2
Sumber data : Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kabupaten Lumajang
—–

DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin Soerjobroto (1992) Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.
Dwidja Priyatno (2006) Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. PT.Refika Aditama, Bandung.
Departemen Kehakiman RI (1990) Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan.
Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyrakatan dalam Sisitem Peradilan Pidana di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan, Jakarta.
Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2007.
Ismael Saleh (1997) Asimilasi Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Departemen Kehakiman RI, Jakarta.
Wirjono Projodikoro (1969) Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Magda Wahyu, Jakarta.
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04. 10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 Tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014.bambang suyatno.

PELAYARAN NIAGA INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS CABOTAGE

Bambang Suyatno
– Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang –
Jl. Mahakam No. 7 Lumajang

ABSTRAK
Di kalangan pelaku usaha bidang pelayaran masih terdapat anggapan keliru yang memandang bahwa penerapan asas cabotage dalam pelayaran domestik bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal, asas ini berlaku global dan diterapkan oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat. Sejak dikeluarkannya UU No. l7/2008, asas cabotage yang tertuang dalam Pasal 8 yang menyebutkan kegiatan angkutan laut di dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia, memberikan dampak positif bagi pelaku pelayaran kendati penerapannya cukup problematik.
Kata kunci : Pelayaran Indonesia, Domestik, Asas Cabotage

A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Asas cabotage merupakan salah satu dari asas yang terdapat dalam hukum laut (maritime law), terutama hukum pengangkutan laut. Asas ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri adalah sepenuhnya hak negara pantai. Negara pantai berhak melarang kapal-kapal laut asing berlayar dan berdagang sepanjang pantai dalam wilayah perairan negara pantai yang bersangkutan. Asas ini sering diartikan juga sebagai pelayaran niaga nasional dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain dalam wilayah suatu negara.
Penerapan asas cabotage ini didukung oleh ketentuan Hukum Laut Internasional, berkaitan dengan kedaulatan dan yuridiksi yang dimiliki oleh suatu negara pantai atas wilayah lautnya. Oleh karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan suatu negara tanpa izin dan alasan yang sah.
Pada saat ini, di kalangan pelaku usaha di bidang pelayaran masih terdapat anggapan keliru yang memandang bahwa penerapan asas cabotage dalam pelayaran domestik bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal, asas ini berlaku global dan diterapkan oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor liberalisasi perdagangan. Anggapan yang keliru itu membuat pelaku usaha pelayaran domestik sering mendapat perlakuan yang kurang adil, terutama dari perusahaan-perusahaan pelayaran asing.
Sebagai acuan pelaksanaan asas cabotage, diterbitkan SK Menhub No. 71/2005 mengenai peta jalan pelaksanaan asas cabotage angkutan laut dalam negeri untuk 14 komoditas utama. Komoditas itu, yakni minyak dan gas bumi, barang umum, batu bara, kayu olah-olahan primer, beras, minyak kelapa sawit, pupuk, semen, bahan galian tambang logam dan non logam, biji-bijian hasil pertanian, muatan cair dan bahan kimia, serta produk pertanian.
Sesuai dengan kapasitas armada nasional yang tersedia, seluruh barang atau muatan antar pelabuhan di dalam negeri dapat diangkut perusahaan pelayaran nasional dengan menggunakan kapal berbendera Merah-Putih selambat-lambatnya 1 Januari 2011. Asas cabotage ini kembali ditegaskan dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Sejak dikeluarkannya UU No. l7 /2008, asas cabotage yang tertuang dalam Pasal 8 yang menyebutkan kegiatan angkutan laut di dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia, memberikan dampak positif bagi pelaku pelayaran kendati penerapannya cukup problematik. Hal ini dapat dilihat dari angka pengadaan kapal nasional yang cenderung naik dalam 4 tahun terakhir.
Data Departemen Perhubungan mengungkapkan, jumlah armada niaga nasional sampai triwulan I/2009 mencapai 8.378 unit atau bertambah 2.346 unit (38,83%) dibandingkan dengan kondisi pada periode yang sama 4 tahun yang lalu sebanyak 6.041 unit. Selain itu, terjadi pergeseran pengisian pangsa muatan dalam negeri dari sebelumnya didominasi asing menjadi dikuasai kapal berbendera nasional meskipun untuk komoditas tertentu, masih dikuasai asing.
Terbitnya Undang-Undang Pelayaran memang kian memperkuat Inpres No. 5/2005. Subtansi kedua regulasi itu adalah bagaimana mengamankan pelayaran dalam negeri dari serbuan asing dengan menggerakkan sejumlah sektor penting, diantaranya perdagangan. Untuk mendukung kebijakan itu, Presiden meminta agar muatan pelayaran antar pelabuhan di dalam negeri diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasionalkan oleh perusahaan pelayaran nasional.
Tumpang tindihnya regulasi antar instansi berdampak buruk terhadap implementasi asas cabotage, seperti kepemilikan asing dalam investasi di Indonesia. Disisi lain, terjadi pengurangan volume muatan dan uang tambang internasional yang signifikan akibat krisis ekonomi global, sehingga pasar domestik makin menarik bagi pelayaran berbendera asing.
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) INSA Johnson W Sutjipto mengakui pengusaha pelayaran kesulitan dalam memenuhi target penerapan asas cabotage secara penuh karena adanya kendala serius berupa lemahnya dukungan dari sektor usaha lainnya, juga menggambarkan betapa sulitnya pelayaran mendapatkan pendanaan dari perbankan dalam negeri untuk mengadakan kapal baru atau bekas, apalagi sampai kepada meminta bunga rendah.
Oleh karena itu, penerapan asas cabotage pada komoditas migas dan offshore masih memerlukan kemauan politik pemerintah yang kuat, terutama dalam mengintervensi pemilik komoditas agar memberikan kontrak sewa kapal jangka panjang kepada operator.

A.2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana penerapan hukum kerugian di laut yang dihadapi oleh pelaku usaha pelayaran niaga nasional dalam usaha memenuhi asas Cabotage sesuai Undang-Undang Pelayaran?

A.3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) untuk mengetahui penerapan hukum kerugian di laut yang dihadapi oleh pelaku usaha pelayaran niaga nasional dalam usaha memenuhi asas Cabotage sesuai Undang-Undang Pelayaran.

B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kapal Bendera Indonesia tidak dapat dimiliki oleh perusahaan asing karena Indonesia menganut sistem” closed registry” dan menurut Pasal 158 Ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, kapal yang dapat didaftarkan di Indonesia yaitu:
a. Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
b. Kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Kapal milik badan usaha Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Dan dalam persyaratan untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut untuk perusahaan nasional secara umum dapat dilihat pada Pasal 29 UU RI Tahun 2008 tentang pelayaran yaitu:
(1) Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan usaha wajib memiliki, kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
(2) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.
Sedangkan kapal berbendera Asing dapat dimiliki oleh perusahaan Indonesia, hal ini harus sesuai dengan peraturan atau hukum tentang pelayaran dari negara berbendera kapal tersebut. Sebagian negara seperti contoh Panama atau Liberia (yang menjalankan open registry atau flag of convenience) memperbolehkan tetapi sebagian sama sekali tidak di perbolehkan. Dan semua kapal asing harus mengunakan PPKA untuk beroperasi di Indonesia dan diharuskan sesuai dengan Pasal 5 ayat 2 KM 33 TAHUN 2001, yang berbunyi sebagai berikut:
“Penggunaan kapal asing untuk angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1), sebelum dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja wajib di laporkan dan di terima Direktur Jenderal Perhubungan menurut contoh keputusan ini”Kapal asing yang tidak memenuhi syarat bendera (dispensasi) dan tidak memenuhi persyaratan PPKA ini dilarang beroperasi di wilayah perairan Indonesia dan tidak diberikan pelayanan di pelabuhan Indonesia”.
Dan untuk waktu penggunaan kapal asing terdapat perbedaan yaitu:
1. Berdasarkan Pasal 341 UU No. 17/2008 tentang pelayaran (UU Pelayaran) disebutkan bahwa kapal asing pada saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukannya kegiatannya paling lama 3 tahun terhitung sejak tanggal berlakunya UU ini yaitu tanggal 7 mei 2008;
2. Sedangkan berdasarkan Pasal 3 (1) g,h,i KM71 Tahun 2005 batas waktunya paling lambat adalah 1 Januari 2011.
Dengan perbedaan tersebut, timbul suatu pertanyaan batas waktu manakah yang berlaku dalam penerapan asas cabotage: Pertama yang harus diperhatikan adalah, jangka waktu yang di atur dalam UU no 17/2008 hanya untuk kapal asing yang sudah beroperasi/melayani kegiatan angkutan dalam negeri sebelum UU no 17/2008 itu berlaku. Tetapi setelah berlakunya UU no 17/2008 (tanggal 7 Mei 20080, apabila kapal asing yang baru mau beroperasi/melayani kegiatan angkutan dalam negeri maka berlaku ketentuan Pasal 8 dan Pasal 284 UU No. 17/2008 yaitu berupa larangan bagi kapal asing untuk melakukan kegiatan angkutan dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 353 UU No.17/2008 disebutkan bahwa pada saat berlakunya UU Pelayaran ini segala peraturan pelaksaan UU No. 21 Tahun 1992 (UU Pelayaran Lama) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti yang baru berdasarkan UU No.17/2008. Dalam hal ini KM 71 Tahun 2008 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No .21/1992 (UU Pelayaran Lama) tetap berlaku hanya mengenai aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan UU No 17/2008.
Masalah ini menjadi dilema untuk semua stakeholder tetapi sesuai penjelasan dari Dephup Pasal 341 UU 17/2008 harus dilihat sebagai ”nafas” dan bukan celah dalam melaksanakan implementasi asas cabotage. Dalam pengertian UU atau KM yang bertentangan dengan UU nomor 17/2008 perlu di perhatikan bahwa, sesuai Pasal 353 UU No.17/2008 dinyatakan sebagai berikut ”Pada saat Undang-undang berlaku semua peraturan pelaksanaan UU No 21/1992 ini tentang pelayaran dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di ganti dengan yang baru berdasarkan UU ini dengan demikian semua peraturan penjelasan sebelumnya tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan UU No. 17/2008 dan jika bertentangan harus mengacu kepada UU No 17/2008. Dan sanksi atas pelanggaran cabotage diancam dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 284 UU nomor 17 tahun 2008, yaitu: ”Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk menggangkut penumpang dan/atau barang antar pulau atau antar pelabuhan di wilayah pelabuhan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (a) di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak RP 6oo.ooo.ooo (enam ratus juta rupiah)”.
Selain sanksi pidana, pelangaran asas cabotage juga dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 17 Tahun 2008, berupa:
a. Peringatan;
b. Denda administratif;
c. Pembekuan izin atau pembekuan sertifikat;
d. Pencabutan izin atau sertifikat.
Dalam penerapan hukum kerugian di laut yang dihadapi oleh pelaku usaha pelayaran niaga nasional dijelaskan dalam KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) ditegaskan bahwa kerugian di laut adalah kerugian akibat adanya tubrukan kapal, kapal karam, kapal kandas, penemuan barang dilaut dan avarai. Tubrukan kapal adalah suatau bencana di laut yang menjadi sumber dari kerugian yang timbul pada salah satu pihak atau kedua belah pihak yang menjadi perbuatan hukum sebagaimana di maksud dalam Pasal 1313 KUHD.
Sedangkan yang dimaksud avarai adalah sejenis kerugian di laut yang bersumber kepada perbuatan manusia misalnya pembajakan kapal MT SINAR KUDUS di Somalia. Sedangkan sumber yang berasal dari kekuatan alam ialah: angin taufan, hujan lebat, gelombang besar, dan lain-lain. Avarai adalah salah satu dari kelompok hukum kerugian dilaut, yaitu peraturan tertua yang dikenal dengan nama ”Lex Rhodia de Jactu” yang kalau di terjemahkan artinya pembuangan barang-barang di laut demi keselamatan kapal beserta muatannya. Asas Avarai adalah bila mana untuk keselamatan kapal dan muatannya, terpaksa dilakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian atau mengakibatkan dikeluarkannya ongkos-ongkos tersebut yang dibebankan kepada pemilik kapal, pemilik barang, dan pengangkut barang. Unsur-unsur tentang avarai menurut Pasal 696 adalah sebagai berikut:
a. Ongkos-ongkos luar biasa yang di keluarkan bagi kapal dan muatan nya secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.
b. Semua kerugian yang menimpa pada kapal dan muatannya.
Ongkos-ongkos luar biasa ini merupakan resiko bagi si pemilik kapal, si pemilik barang muatan dan si pengangkut. Untuk menghilangkan akibat resiko ini perlu sekali adanya asuransi. Yang bertujuan menjamin resiko pengusaha dengan cara mengganti kerugian di laut, sebab tanpa asuransi maka kelangsungan hidup pengusaha pengangkutan dan pengusaha kapal dalam keadaan bahaya. Adapun definisi tentang avarai terdapat dalam pasal 696 yang berbunyi: segala biaya yang luar biasa yang di keluarkan guna kepentingan sebuah kapal dan barang-barang yang dimuatnya, baik biaya tadi di keluarkan bersama-sama atau sendiri-sendiri, serta segala kerugian yang menimpa kapal dan barang-barang tersebut, yang dalam bagiannya. Pengertian tentang tubrukan kapal diyatakan dalam pasal 534 ayat (1) menetapkan bahwa yang dinamakan tubrukan kapal adalah tabrakan atau penyentuhan antara kapal satu dengan kapal yang lain. Juga pengertian yang lain mengenai tubrukan kapal yang dapat di jelaskan sebagai berikut :
1. Cacat pada kapal yang disebabkan karena pembuatannya atau pemeliharaannya salah, atau pengawasan atas kapal itu tidak sempurna;
2. Suatu perintah dari nakhoda yang keliru atau pelaksanaanya yang salah.
Dugaan hukum atas kesalahan dalam tubrukan kapal ada dua macam, yaitu dugaan menurut undang-undang dan dugaan yang tidak menurut undang-undang (pasal 1915 ayat (2). Dugaan menurut UU adalah dugaan berdasarkan suatu ketentuan khusus dari UU yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu (pasal 1916 ayat (1) KUHPer). Sedangkan dugaan yang tidak berdasarkan UU, diserahkan pada pertimbangan dan pengawasan hakim (pasal l922, kalimat pertama).
Di dalam KUHD ada dua buah pasal (Pasal 540 dan Pasal 544 a ayat (2) ) yang mengandung dugaan UU (meskipun dalam hal ini dilarang oleh Traktat Brusel 1910 (Pasal 6) ; yang mana tidak dibolehkan negara peserta menetapkan dalam undang-undangnya bahwa sesuai peristiwa tertentu a priori dianggap tidak lain dari semula harus membuktikan hasil sebaliknya, dengan akibat bahwa pihak lain harus membuktikan hal sebaliknya, yaitu kesalahan pihak lawan.
a. Pasal 540, apabila setelah tubrukan kapal, salah satu kapal yang tubrukan tersebut berlayar menuju pelabuhan terdekat, dan dalam perjalanan tengelam, maka ini dianggap disebabkan karena tubrukan itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Ketentuan ini bukan suatu pelangaran pada ‘Traktat Brusel itu, sebab dugaan tidak mengenai kesalahan salah satu kapal, tetapi mengenai hubungan kausal antara karam kapal dengan tubrukan.
b. Pasal 544 (a) ayat (2), apabila sebuah kapal menubruk pada benda tetap atau bergerak yang diikat sehingga tidak dapat bergerak dengan bebas, maka pengusaha kapal bertangung jawab atas kerugian yang di timbulkan dari padanya, kecuali bila dibuktikan sebaliknya. Ketentuan ini juga bukan sesuatu pelangaran Traktat Brusel 1910 tersebut, sebab larangan dalam Traktat Brusel itu mengenai tubrukan antara kapal dengan barang lain, seperti yang telah di tentukan dalam pasal 544 a ayat (2) tersebut di atas. Menurut Pasal 698 ayat (1), ada dua macam avarai yaitu umum (averij grose) dan avarai khusus (bijzondere averij). Avarai umum dibebankan bersama-sama kepada kapal, uang angkut dan muatan. Sedangkan avarai khusus dibebankan kepada masing-masing pihak yang mendapat kerugian atau yang mengeluarkan biaya-biaya luar biasa (Pasal 698 ayat 2 ). Sehingga pengertian yang sesuai dengan sejarah ialah avarai umum saja. Suatu kerugian atau pengeluaran biaya luar biasa dapat dimasukan dalam jenis avarai umum dengan beberapa persyaratan:
1) Penyebab avarai umum adalah suatu peristiwa tidak pasti (onzeker voorval).
2) Ada unsur keadaan darurat (uit nood) misalnya: adanya ancaman bahaya tenggelam secara langsung bagi sebuah kapal yang sedang berlayar dilaut.
3) Adanya unsur kesengajaan untuk menimbulkan kerugian atau pengeluaran biaya-biaya luar biasa.
4) Adanya tujuan bagi keselamatan beserta muatannya.
Avarai umum diatur dalam Pasal 699 dan avarai khusus pada Pasal 701. Ketentuan Pasal 699 yang penting diperhatikan adalah yang memberi katentuan umum. Sedangkan hal penting dalam Pasal 701 yang memberi pedoman umum apa yang dimaksud dengan avarai khusus. Pasal 700 mengatur tentang kerugian atau pengeluaran biaya-biaya luar biasa pada kapal yang bersumber pada:
1) Cacat tersembunyi pada kapal;
2) Tidak adany kelaikan laut pada kapal;
3) Kesalahan atau kealpaan nahkoda atau awak kapal.
Meskipun peristiwa sebagai yang diatur dalam pasal 700 ini menyerupai avarai umum, tetapi karena bersumber dari cacat tersembunyi pada kapal, tidak adanya kelaiklautan kapal atau kalau kerugian bersumber kepada kesalahan, kelalaian nahkoda atau anak buah kapal, maka avarai itu berakibat sebagai avarai khusus, artinya kerugian itu dibebankan kepada masing-masing pihak yang tertimpa kerugian atau yang mengeluarkan biaya-biaya luar biasa. Menurut UU yangtermasuk dalam kategori avarai umum adalah:
1) Uang tebusan, uang diberikan kepada musuh atau bajak laut sebagai uang pembelian kapal beserta muatannya dengan maksud agar kapal beserta muatannya dibebaskan kembali ( Pasal 699 ayat (1) );
2) Pembuangan barang dilaut, untuk kepentingan kapal dan muatannya. Hal ini perlu karena kapal yang sedang diancam gelombang atau angin ribut yang dapat meringankan kapal supaya kapal tidak tenggelam (Pasal 699);
3) Biaya-biaya luar biasa bagi awak kapal, seperti pemeliharaan, perawatan awak kapal yang telah berjasa dalam pempertahankan kapal terhadap ancaman di laut;
4) Ongkos-ongkos kepelabuhan darurat, seperti gaji awak kapal, uang pandu, selama berada di pelabuhan darurat;
5) Ongkos-ongkos penuntutan kembali kapal bila kapal beserta muatannya ditahan selama waktu penuntutan, dengan syarat sesudah penuntutan itu menjadi bebas;
6) Ongkos-ongkos yang di keluarkan sesudah lampaunya bahaya ancaman di laut, seperti uang tolong,dan lain-lain;
7) Kerugian yang disebabkan didamparkannya kapal dipantai untuk menghindari rampasan musuhatau dari kemusnahan;
8) Kerugian dan kerusakan barang yang dipindahkan kapal penolong ke kapal asalnyabila dalam keadaan darurat.
Avarai umum mempunyai unsur-unsur sebagai:
1) Penyebab.
2) Kesengajaan.
3) Tujuan.
Perkapalan merupakan bagian dari industri maritim yang menjadi tulang punggung transportasi laut khususnya bagi negara kepulauan.walaupun transportasi laut merupakan kegiatan turunan dari sektor perdagangan antar pulau dan antar negara yang telah terbukti memiliki keungulan komperatif sangat ekonomis (economis of scale) dalam menunjang perdagangan internasional sejak 3200 tahun sebelum masehi(mesir).Indonesia menjadi salah satu wilayah yang paling strategis dalam jalur pelayaran dunia (mesir telah berhubungan dagang dengan Indonesia pada 1200 SM).
Namun hal ini tidak menjadikan Indonesia menerima keuntungan dari kegiatan perdagangan internasional tersebut. Kesempatan ini justru di ambil oleh negara tetangga singapura dan malaysia, mereka telah mampu menyediakan sarana pelabuhan Hub Port bagi armada kapal dunia. Dapat kita bayangkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari dua negara tersebut karena 71% perdagangan internasoinal menggunakan transportasi laut (sea borne trade), dimana dalam jumlah berat adalah berkisar 96% diangkut oleh armada kapal (moda laut). 70% dari transportasi laut untuk perdagangan internasional melalui perairan indinesia, artinya 70% dari armada kapal internasional menyinggahi Hub Port ke dua negara tersebut. Sumber day laut dijadikan sebagai motor dalam pembangunan nasional dan dapat menjadi tumpuan untuk mensejahterakan bangsa.
Namun kenyataan saat ini dari sisi transportasi laut, dapat dilihat bahwa armada kapal yang menjadi alat mempersatubangsa dalam segi ekonomi Indonesia, masih sangat tergantung pada armada asing (<50%). Melalui Inpres No 5 tahun 2005 ”asas cabotage” (asas cabotage adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan). Pemerintah Indonesia berkomitmen dan mengambil kebijakan kelautan (ocean polici) yang berpihak kepada pembangunan ekonomi maritim. Kemudian ini di tindak lanjuti dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri/ekonomi maritim.
Kebijakan perkapalan, kepelabuhan, transportasi laut dan antar moda,prioritas kegiatan ekonomi, kebijakan fiskal, kebijakan investasi, energi, dirgantara, kebijakan pembangunan daerah, dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia berpendoman pada visi dan misi maritim (bagian dari kebijakan kelautan). Implementasi kebijakan kelautan memiliki dinamika dan tantangan, sebagai contoh: kebijakan pemerintah Thailand untuk merebut pasar transportasi laut dengan recana membuat kanal di semenanjung Karena, hal ini akan mengurangi volume transportasi laut yang melalui Perairan Nusantara Indonesia yang merupakan tantangan bagi Indonesia selam membangun kekuatan ekonomi maritim sjalan dengan dinamika perubahan, dan komitmen kuat adalah kunci untuk membangun ekonomi berdaya saing (comperatif), menciptakan pasardalam negeri yang dapat berperan dalam ekonomi global.
Agar dapat bersaing dengan negara lain, Indonesia harus memiliki tenaga profesional atau sumber daya manusia andal yang memiliki kompetensi khususnya dibidang tehinik perkapalan dan pelayaran, agar mampu mendukung pembangunan industri maritim terutama dalam hal pembangunan armada kapal nasional, dan menjadi tuan rumah diperairan laut Indonesia. Selain pendidikan khusus dibidang perkapalan dan pelayaran juga menciptakan kultur/budaya kemaritiman yang memiliki karakter dinamis dan sangat di perlukan karena khususnya armada kapal, memilki sifat ekonomis, seperti : nilai investasi tinggi yang beresiko tinggi, jangka waktu panjang, serta memperhatikan faktor keselamatan dan komersial dalam dunia maritim.

C. PENUTUP
C.1. Kesimpulan
Prosedur yang dilakukan nahkoda bila terjadi adanya musibah di laut, baik karena faktor ektern maupun faktor intern haruslah selalu menggunakan prosedur keadaan darurat yang berlaku. Dari itu maka nahkoda sebelum melakukan pelayaran haruslah membuat perintah. Pembagian tugas yang jelas kepada semua awak kapal terhadap tugas masing-masing bila terjadi musibah di laut. Sehingga bila terjadi musibah di laut diharapkan semua awak kapal terlibat dalam penanggulangan musibah sesuai tugas yang diembannya. Dalarn tugas yang jelas tersebut untuk menghindari kepanikan serta kerugian yang lebih besar dari akibat yang ditimbulkannya. Dengan pembagian tugas yang jelas pula diharapkan musibah di laut secepatnya bisa diatasi oleh awak kapal itu sendiri tanpa harus menunggu bantuan pihak lain. Demikian juga kepemimpinan nahkoda haruslah tegas dan bertanggung jawab dalam memberi perintah atau komando, sehingga bila terjadi suatu musibah kecelakaan di laut maka perintah atau komando penanggulangan hanya ada seorang saja yaitu nahkoda.
C.2. Saran
Disarankan agar peraturan-peraturan pemerintah dan aturan pelaksanaan lainnya diangkat ketingkat undang-undang sehingga aturan pelaksanaan hanya berisikan norma, standar dan kriteria. Hal ini juga mempermudah implementasi dari UU No. 32 tahun 2004 tentang peraturan dasar Otonomi Daerah dimana banyak hal bersangkutan dengan aturan yang telah dilimpahkan ke daerah. Dengan demikian aturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran cukup diatur dalam 3 (tiga) Peraturan Pemerintah yang berisikan norma, standar dan kriteria di bidang: (1) Angkutan Laut, (2) Kepelabuhanan, dan (3) Keselamatan dan Keamanan Maritim.
—–
DAFTAR PUSTAKA
Buku Materi Penyuluhan Keselamatan Kapal, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Menteri Perhubungan, Jakarta, 2001.
Buku Materi Penyuluhan Keselamatan Kapal, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Menteri Perhubungan, Jakarta, 2010.
Keputusan Direktur Perhubungan Laut No. PY.66/1/4-03 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kelaiklautan Kapal.
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 62 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Administrator Pelabuhan Tanjung Perak Kelas I Surabaya.
Lasse A.D., “Fungsi dan Prestasi Kerja Pandu Bandar” Jurnal Manajemen Transportasi, Volume VIII, No.03 2007.
Pandoyo Toto, Wawasan Nusantara dan Implementasinya dalam UUD 1945 serta Pembangunan Nasional, Cetakan ke-2, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Peraturan-peraturan Bandar (Reden Reglement 1925, STBL 1924 No.500).
Rony Soemitro (1990) “ Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri”, Balai Pustaka, Jakarta.
Rosyid Mohammad Daniel, Setyawan Dony (2000), Kekuatan Struktur Kapal, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Santosa Djohari (2004), Pokok-Pokok Hukum Perkapalan, UII Press, Yogyakarta.
Sinamo, Nomensen. ( 2009 ). Metode Penelitian Hukum. Bumi Intitama Sejahtera. Jakarta
Soedjono Wiwoho, Pengangkutan Laut dalam Hubungannya dengan Wawasan Nusantara Seri Hukum Dagang, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014. M. Agus Syaifullah.

PERKAWINAN USIA MUDA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI KABUPATEN LUMAJANG

M. Agus Syaifullah
– Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang –
Jl. Mahakam No. 7 Lumajang

ABSTRAK
Perkawinan usia muda tidak dilarang oleh UUP dan KHI. Ada 7 perkawinan selama kurun 5 tahun terakhir di lokasi penelitian. Faktor penyebab terjadinya perkawinan tersebut adalah: a. budaya malu anak takut mendapat julukan perawan tua dan tidak laku nikah, b. orang tua tidak mampu menyekolahkan anak kejenjang lebih tinggi, c. calon mempelai perempuan hamil lebih dahulu, d. pendidikan dan wawasan orang tua yang rendah, dan e. lemahnya pengawasan penegakan hukum. Sedangkan dampak negatifnya: a. terjadi kekerasan dalam rumah tangga, b. tidak harmonis dalam rumah tangga, c. mudah bercerai, d. kehilangan kesempatan pendidikan, e. memburuknya kesehatan ibu dan anak.
Kata kunci : Perkawinan Usia Muda, UUP, KHI

A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat sakral dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan.
Dalam berkehidupan masyarakat orang tua yang berpendidikan rendah atau sama sekali tidak mengenyam pendidikan banyak dijumpai anak yang masih usia muda dikawinkan karena dilatarbelakangi beberapa faktor yakni: a) budaya, b) diri sendiri, c) ekonomi, dan d) pendidikan.
Perkawinan di usia muda menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) tidak secara tegas dilarang. Disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, ayat (2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua pulu satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua; Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1) disebutkan Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. ayat (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) dalam UU Perkawinan Tahun 1974.
Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UUP, yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, namun dalam prakteknya masih banyak dijumpai perkawinan pada usia muda atau di bawah umur. Padahal perkawinan yang sukses pasti membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga.
Berdasarkan uraian singkat di atas maka dilakukan penelitian dengan mengambil judul: ”Perkawinan Usia Muda Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Candipuro)”.
A.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah perkawinan usia muda di Desa Candipuro?
b. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda di Desa Candipuro?
c. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan perkawinan usia muda di Desa Candipuro ?
A.3. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis, artinya dalam melakukan penelitian tidak hanya melihat dari sudut pandangan hukum positifnya saja, akan tetapi dilihat dari sudut pandang kenyataan yang ada dalam mayarakat.
Penelitian ini bersifat eksploratoris dan deskriptif, dengan berupaya memberikan penelaran tentang permasalahan obyek yang dibahas melalui gambaran suatu cerita, dengan mengambil lokasi penelitian ini di Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang.
Untuk memperoleh data yang obyektif, dalam penelitian ini menggunakan metode yaitu: 1. Studi Kepustakaan dan 2. Interview/Wawancara. Mengingat metode pendekatan dalam penelitian yuridis sosiologis, maka data yang diterima dianalisis dengan menggunakan analisis data induksi artinya bertitik tolak dari pengertian dan permasalahan yang bersifat khusus ditarik kesimpulan yang bersifat umum dan analisis kualitatif.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B.1. Perkawinan Usia Muda di Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokasi peneliyian dapat diketahui bahwa dalam dalam kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 telah terjadi perkawinan sebanyak 313 pasangan suami istri. Dari jumlah perkawinan tersebut terdapat 7 (tujuh) perkawinan yang tergolong perkawinan anak usia muda yang dalam hal ini mempelai perempuan masih di bawah umur 16 (enam belas) tahun sedangkan mempelai laki-laki sudah di atas 16 (enam belas) tahun. Perkawinan usia muda di lokasi peneletian adalah sah tidak ada larangan melakukan perkawinan karena tidak melanggar ketentuan yang telah di tetapkan oleh UUP dan KHI.
Adapun daftar perkawinan usia muda yang terjadi di lokasi penelitian adalah dalam Tabel di bawah ini :
Tabel
Daftar Perkawinan Usia Muda Di Lokasi Penelitian
No N a m a Usia Nikah Pendidikan
Wanita Laki-Laki Wanita Laki-Laki Wanita Laki-Laki
1 Rom Sol 15 Tahun 17 Tahun SD SD
2 Mar Sis 15 Tahun 18 Tahun SD SMP
3 Lav Ris 15 Tahun 19 Tahun SD SMP
4 Sri Sya 15 Tahun 17 Tahun SD SMP
5 Sun MTa 15 Tahun 19 Tahun SD SD
6 Cah Ban 15 Tahun 19 Tahun SD SD
7 Wah Set 15 Tahun 17 Tahun SD SMP
Pada umumnya dari ke 7 (tujuh) wanita yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda di lokasi penelitiantidak semua memiliki tingkat kedewasaan/kematangan yang ideal yang sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UUP. Masih banyak orang tua yang belum menyadari pentingnya keterlibatan mereka secara langsung dalam mengasuh anak. Tak jarang akibatnya merugikan perkembangan fisik dan mental anaknya sendiri.
Berdasarkan penelitian di lokasi penelitian dikaitkan dengan Hukum Islam adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah dan sunnah Rosul, perkawinan mempunyai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, dan memperoleh keturunan yang sholeh dan sholeha.
Menurut seorang tokoh agama masyarakat di lokasi penelitian (AHB), orang yang diperbolehkan kawin menurut Islam sudah mencapai baligh bagi pria dan mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan. Jika ini dijadikan sandaran, maka dari 7 (tujuh) peristiwa perkawinan usia muda di lokasi penelitian memperbolehkan dan tidak dilarang menurut ajaran Islam.
Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah, namun secara implisit syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah shalat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Petugas P3N (SA) di lokasi penelitian, perkawinan usia muda di lokasi penelitian, perkawinan yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan usia 19 (sembilan belas) bagi pria, biasanya terlebih dahulu dengan cara dinikahkan secara sirri. Hal ini untuk menghindari perzinaan, menanggung malu, dan melegalkan secara agama, baru apabila sudah genap usia 16 (enam belas) tahun untuk wanita, dan 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dinikahkan secara formal sesuai peraturan yang telah diatur dalam UUP.
Hal tersebut dilakukan dikarenakan adanya kedua orang tua yang mempuyai anak gadis yang memasuki usia remaja dipinang oleh seorang pria yang usianya juga relatif muda tanpa ada persetujuan dari anak maka orang tua beranggapan apabila ditolak anak mereka akan membawa sial. Di samping itu anak mereka dijuluki perawan tidak laku dan perawan tua tanpa ada pertimbangan yang matang langsung mereka terima dengan berasumsi nanti kalau sudah kawin anak mereka akan bahagia menjadi keluarga yang sakinah mawada warohmah.
Pasal 7 ayat (1) UUP menyatakan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Sedangkan Pasal 15 ayat (1) KHI berbunyi: Untuk kemaslahan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Dengan demikian perkawinan usia muda dapat diartikan sebagai suatu perkawinan dimana usia mempelainya tidak memenuhi syarat untuk menikah, atau usia mempelainya di bawah 16 tahun untuk perempuan dan di bawah 19 tahun untuk laki-laki. Namun demikian perkawinan usia muda masih dijumpai dalam masyarakat, hal ini kemungkinan dapat terjadi, karena UUP masih membolehkan yaitu dalam situasi dan kondisi tertentu. Hal ini dilakukan dengan cara mengajukan dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang di tunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) sebagai berikut :
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabata lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Istilah perkawinan usia muda yang dapat disamakan dengan istilah perkawinan di bawah umur dijumpai dalam Penjelasan UUP, yaitu dalam penjabaran tentang asas-asas perkawinan, khususnya asas keempat yaitu :
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan di antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
B.2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda
1) Faktor Budaya
Alasan orang tua segera menikahkan anaknya dalam usia muda di lokasi penelitian adalah untuk segera mempersatukan ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang mereka inginkan bersama keinginan adanya ikatan tersebut biasanya ada rasa pikiran malu di lingkungan tersebut dengan anggapan bila anaknya ada yang menghendaki dan tidak segera dikawinkan takut anaknya dijuluki perawan tua atau perawan tidak laku. Hal inilah yang mendorong orang tua mempunyai alasan kuat untuk mengawinkan anaknya dalam usia muda karena takut menanggung malu.
Menurut S (orang tua Rom 24 tahun yang menikah pada umur 15 tahun dengan Sol 27 tahun yang menikah pada usia 17 tahun) karena melihat anaknya sudah semakin besar dan ada orang tua yang ingin berbesanan menjodohkan anaknya. Pertimbangan lainnya karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan yang dapat mencemari nama baik keluarga maka ditakutkan anaknya dijuluki perawan tidak laku dan membuwang sangkal. Di samping itu karena orang tua mempunyai anggapan kalau menolak maka anaknya selamanya tidak akan laku dan dianggap pilih-pilih serta takut dijuluki perawan tidak laku dan perawan tua, maka tanpa ada pertimbangan yang matang lansung diterima dengan harapan nanti kalau sudah kawin anak mereka akan bahagia menjadi keluarga yang sakinah mawada warohmah.
Sama halnya dengan S, D (orang tua Lavberusia 17 tahun dengan Ris yang berusia 22 tahun yang menikah pada usia masing-masing umur 15 tahun dan umur 19 tahun) dengan alasan karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan melihat anak gadis tetangganya sudah ada yang meminang sehingga ada kekhawatiran rasa takut anaknya dijuluki perawan tua dan tidak laku kawin segeralah menikahkan anaknya.
Lain halnya dengan Sun berusia 18 tahun dan MTa berusia 20 tahun yang menikah pada usia 15 tahun dan 18 tahun, alasan menikah karena kedekatan hubungannya dan orang tua ingin segera punya cucu dan enggan menolak takut dicap anak durhaka yang tidak patuh kepada kehendak orang tua. Disampnig itu ada keinginan masing-masing kedua orang tua untuk segera dinikahan karena ada kekhawatiran terjadi sesuatu yang membuat malu orang tua yaitu hamil di luar nikah selain itu juga tidak mau dilihat oleh para tetangga gadis kesana kemari dan dijuluki kumpul kebo maka dengan pertimbangan itu segera menikahkan anaknya.
2) Faktor Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor ekonomi untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan membantu beban orang tua dimana orang tua dilatar belakangi ekonomi yang kurang mapan sehingga kehadiran menantu bisa membantu beban hidup orang tua karena anaknya sudah ada yang menanggung.
Hal ini terjadi pada AW (orang tua Sri dengan Sya yang menikah masing-masing pada umur 15 tahun dan 17 tahun) dengan alasan keterbatasan kemampuan ekonomi bekerja sebagai kaum buruh tani dengan penghasilan tidak menentu tidak mampu membiayai pendidikan anaknya kejejnjang yang lebih tinggi sehingga menikahkan anak dianggap sebagai salah satu jalan keluar mengurangi beban ekonomi keluarga, setelah ada pemuda kerumahnya dan meminta anaknya untuk dijadikan seorang istri spontan menerima lamarannya tanpa pikir panjang segera cepat-cepat menikahkan anaknya.
Demikian dengan Sbj (orang tua dari pasangan Cah berusia 17 tahun dengan Ban yang berusia 19 tahun yang menikah pada usia masing-masing umur 15 tahun dan umur 17 tahun) dengan alasan hanya tidak bisa untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, perkawinan dianggap sebagai jalan pemecahan. Disamping itu untuk menghindari dari hal-hal yang tidak kita inginkan yaitu perbuatan zinah karena anaknya sudah mempunyai pacar dan takut anaknya dicap sebagi perawan murahan.
3) Keinginan Diri Sendiri
Nampaknya ini juga merupakan faktor terjadinya perkawinan usia muda, kasus dispensasi menikah diajukan karena anak telah hamil terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan usia muda terjadi karena adanya factor keterpaksaan, karena kehamilan tidak dikehendaki, terjadinya hubungan seksual sebelum menikah di usia muda, dan mungkin juga terjadinya kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual baik oleh pacar karena takut diputus cinta, seperti yang dialami perkawinan Mar dengan Sis mereka kawin pada tahun 2011 atas inisiatif diri sendiri dalam perkawian saat itu pihak perempuan masih duduk dibangku sekolah kelas 1 (satu) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di lokasi penelitia. Waktu itu masih berusia 15 (lima belas) tahun, sebelum menikah mereka pacaran tanpa diketahui oleh kedua orang tua selang beberapa bulan lamanya tanpa di sadari pihak perempuan hamil 3 (tiga) bulan akibat hubungan seksual di luar nikah. Atas permintaan sendiiri daripada menanggung malu, kemudian minta kepada pihak laki-laki untuk mempertanggug-jawabkan anak yang telah dikandungnya dengan cara melakukan perkawinan.
Menyadari bahwa anaknya masih di bawah umur untuk bisa melangsungkan perkawinan, orang tua keduabelah pihak melakukan manipulasi umur dengan cara menambah umur sehingga genap 16 tahun dan 19 tahun. Sebab, kalau tidak dilakukan demikian akan menjalani proses yang panjang dengan cara memperoleh ijin kawin dari pengadilan agama.
4) Faktor Pendidikan
Pasangan Wah ketika menikah usianya masing-masing umur 15 tahun dan umur 17 tahun. Karena tidak bisa melanjutkan sekolah dikarenakan oleh keinginan dari masing-masing orang tua yang menginginkan anak gadisnya menikah cepat-cepat. Dan juga karena orang tua melihat kedekatan kedua anaknya di takutkan akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan maka ia segera menikahkan anaknya. Di samping itu keinginan orang tua untuk segera memiliki cucu, Dari situ anak takut dikatakan anak yang tidak hormat dan patuh pada orang tuanya maka mau untuk segera dinikahkan.
Beberapa orang tua di lokasi penelitian yang menikahkan anak perempuannya pada usia yang masih muda. Kebanyakan dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang dimilikinya banyak anak yang masih duduk di bangku sekolah putus dikarenakan orang tua telah menerima lamaran anak gadisnya dan secepatnya menikahkan diusia muda. Orang tua tidak begitu memikirkan bagaimanakah keadaan anaknya setelah berumah tangga yang penting bagi mereka anaknya sudah menikah dan sudah ada yang mau menanggung kebutuhan anak perempuannya.
5) Lemahnya Penegakan Hukum.
UUP memberikan batasan menikah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Namun, UUP juga membolehkan adanya dispensasi menikah pada anak dibawah usia tersebut. Banyaknya perkawinan usia muda di di lokasi penelitian karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum UUP yakni dengan membiarkan adanya penambahan umur untuk melangsungkan perkawinan bagi anaka yang belum mencapai batas usia kawin.
B.3. Dampak Perkawinan Usia Muda Di Lokasi Penelitian
Dampak positif :
Adapun dampak perkawinan usia muda di lokasi penelitian berdasarkan hasil wawancara dengan Taufik Hidayat, SPd adalah sebagai berikut:
a. Menghindari Perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama dan UUP, perkawinan usia muda di lokasi penelitian, menurut Taufik Hidayat SP,d pada dasarnya tidak dilarang, karena dengan dilakukannya perkawinan tersebut mempunyai implikasi dan tujuan untuk menghindari adanya perzinahan yang sering dilakukan oleh para remaja yang secara tersirat maupun tersurat dilarang baik oleh agama maupun hukum meskipun demikian bukan berarti menikah diusia muda tidak memberikan kebahagiaan kalau ini dilakukan dengan tujuan pernikahan yang sebenarnya yaitu membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sakinah mawadah warohmah, perkawinan usia muda dapat menghindari terhadap dari seks bebas juga memiliki anak yang tidak begitu jauh jadi bisa memiliki cucu dalam usia yang tidak begitu tua.
b. Mengukuti Sunnah Rosul
Nikah merupakan Syari’at (tatanan agama) yang berlangsung sejak Nabi Adam dan terus berlanjut hingga kehidupan di surga kelak. Lebih dari itu, nikah menjadi bagian dari prinsip dasar hukum Islam yang lima ( al-Ushul al-Khams ), dengan tujuan melestarikan keturunan. Juga disebutkan dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Dan akupun juga nikah, maka siapa benci pada sunnahku berarti bukan masuk umatku” (H.R. Muttafaqun alaih).
Dampak negatif :
a ) Penelantaran dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Karena keterbatasan dan ketidakmatangan untuk berumah tangga, anak perempuan yang terpaksa menjadi seorang istri di usia yang masih sangat belia itu tidak mempunyai posisi tawar-menawar yang kuat dengan suaminya, sehingga sangat rawan menjadi korban dan sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Begitupun anak laki-laki yang menikah di usia muda, karena keterbatasan dan ketidakmatangan emosi untuk berumah tangga akan cenderung menjadi pelaku kekerasan.
Seperti halanya yang terjadi pada perkawinan Mar dengan Sis sejak kawin pada tahun 2011 tidak seindah apa yang dibayangkan waktu berpacaran. Perkawinannya dalam kurun waktu berjalan 2 (dua) bulan pihak laki-laki sudah ada tanda-tanda perubahan rasa kasih sayang terhadap sang istri, sering ada perbedaan pendapat dan karena orang tua pihak laki-laki ikut mengatur dalam urusan rumah tangga. tidak jarang juga pihak suami melakukan kekerasan dengan cara memukul, sering meninggalkan istri karena beranggapan masih berjiwa muda secara ekonomi pihak suami tidak memberikan nafkah yang layak karena tidak memiliki penghasilan yang tetap dan masih menggantungkan pemberian orang tua. Selama perkawinan tidak pernah merasakan kebahagiaan hingga lahirnya anak sehingga terjadilah penelantaran istri dan anak. Genap perkawinan umur 1 (satu) tahun terjadilah gugat cerai yang dilakukan atas permintaan istri.
b) Tidak Harmonis Dalam Rumah Tangga
Dari wawancara dan pengamatan pada kehidupan remaja yang kawin di usia muda di lokasi penelitian tidak jarang terjadi ketegangan antara suami-istri seperti tidak terkendalinya emosi, terjadi kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan perselingkuhan yang dilatar-belakangi kekurangsiapan mental dari pasangan usia muda tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan tekanan sosial maupun ekonomi rumah tangga.
Perkawinan usia muda secara mental masih belum siap lemah dan labil sehingga tidak jarang terjadi perbeda pendapat, cekcok karena barang sepele, muda menerima omongan dari pihak lain juga membeda-bedakan status kedua orang tua. Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Pikirannya sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosionalnya.
c) Kehilangan Kesempatan Pendidikan.
Menikah usia muda di lokasi penelitian dapat menyebabkan anak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan, karena anak akan terhambat untuk memperoleh pendidikan karena sudah beralih fungsi yaitu bagaimana cara untuk membina keluarga dalam usia yang masih labil. Hal inilah tidak sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Tingginya angka anak putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi dikarenakan orang tua segera menikahkan anaknya di usia yang masih muda hal ini dipengaruhi oleh kultur budaya yang sudah turun menurun sejak nenek moyang jaman dahulu dan orang tua masih berpikir kolot dan mepunyai anggapan bahwa anak gadisnya kalau tidak dinikahkan diusia muda takut dijuluki perawan tua dan tidak laku, anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena tempat kembalinya ke dapur. Jadi setinggi apapun pendidikan seorang anak perempuan akan percuma, karena ujung-ujungnya hanya masak dan ngulek sambal di dapur (Hj. Satumi Kepala MTs).
d ) Perceraian
Dari wawancara dengan informan juga dapat diungkapkan bahwa seringkali perkawinan dalam usia muda di lokasi penelitian acapkali berujung pada perceraian. Ini merupakan keputusan terahir setelah menjalani hidup berkeluarga di rasa tidak harmonis lagi dan tidak bisa di pertahankan beberapa penyebab terjadinya perceraian dikarenakan kurangnya kesiapan secara mental, ekonomi, dan pola berpikir yang kurang matang atau labil, juga di pengaruhi oleh mertua terhadap menantu karena sifatnya yang masih kekanak kanaan sehingga terjadilah beda pendapat antara menantu dan orang tua, yang juga di ikuti oleh salah satu anak yang berpihak pada orang tua dan terjadilah perpecahan keluarga yang berujung pada perceraian hampir semua responden yang melakukan perkawinan usia muda terjadi perceraian.
Pasangan Sri dengan Sya yang menikah masing-masing pada umur 15 tahun dan 17 tahun dalam perjalanan perkawinannya tidak seindah yang dibayangkan waktu pengantin baru. Usia perkawinanbaru 1 (satu) tahun, pihak laki-laki sudah ada tanda-tanda perubahan rasa kasih sayang terhadap sang istri, sering timbul perbedaan pendapat karena ada kehadiran dari pihak ke 3 (tiga) yaitu orang tua terutama orang tua pihak laki-laki ikut mengatur urusan rumah tangganya juga. Faktor yang dominan dilatar belakangi pihak suami tidak mempuyai penghasilan yang tetap untuk biaya hidup atau nafkah sang istri setiap bulannya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Hal inilah yang menyebabkan pasangan Sri dan Sya bercerai.
Pasangan Rom dan Sol telah berjalan hampir 4 (empat) tahun dan dikarunia 2 (dua) anak. Setelah dikarunia anak biaya hidup semakin bertambah sedangkan pekerjaan suami tidak menentu menggantungkan suruhan orang lain. Karena penghasilan suami sudah mulai tidak pasti sedangkan kebutuhan hidup bertambah, maka kehidupan rumah tangganya mulai terasa tidak harmonis. Untuk memenuhi hidup sang istri diam-diam pinjam uang tanpa diketahui oleh suami dan pada suatu saat pinjaman tersebut diketahui oleh suami terjadilah perang mulut, cekcok dan mulai keduanya sudah tidak saling percaya dan mulai mebawa dan membeda-bedakan kedudukan kedua orang tua dan pada ahirnya berujung perceraian.
Wah dan Set sebagai pasangan pengantin baru bahagia, karena pasangan suami ini masih menikmati indahnya sebuah perkawinan. Setelah berjalan beberapa bulan lamanya keluarga ini mulai terlihat ada tanda-tanda ketidakharmonisan karena adanya tuntutan kebutuhan hidup untuk memenuhi kewajiban seorang suami kepada istrinya. Karena Set tidak mempunyai pekerjaan yang tetap mulailah terjadi pertengkaran, dan ahirnya terjadilah pisah ranjang yang berkepanjangan dan ahirnya berujung pada perceraian.
e) Kesehatan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bidan Desa di lokasi penelitian (Erika) bahwa kelahiran anak yang baik adalah dilahirkan dari seorang ibu yang telah beusia 20 tahun. Kelahiran anak oleh seorang ibu di bawah 20 tahun akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak yang yang bersangkutan oleh sebab itu sangat dianjurkan apabila seorang perempuan belum berusian 20 tahun untuk menunda perkawinannya. Apabila sudah terlanjur menjadi pasangan suami istri yang masih dibawah umur maka dianjurkan untuk menunda kehamilan karena hamil diusia muda dapat mempengaruhi: a. kondisi rahim dan panggul ibu kurang berkembang secara optimal, b. mengalami keguguran, c. bayi lahir sebelum waktunya, d. berat bayi lahir rendah
Seperti yang dialami oleh pasangan suami istri Ma dengan Sis setelah di karunia anak, anak yang dilahirkan kesehatannya memprihatinkan kurang gizi begitu juga kesehatan pada ibunya secara fisik dan psikis kurang baik.

C. PENUTUP
C.1. Kesimpulan
Di lokasi penelitian dapat diketahui bahwa dalam dalam kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 telah terjadi perkawinan sebanyak 313 pasangan suami istri. Dari jumlah perkawinan tersebut terdapat 7 (tujuh) perkawinan yang tergolong perkawinan anak usia muda yang dalam hal ini mempelai perempuan masih di bawah umur 16 (enam belas) tahun sedangkan mempelai laki-laki sudah di atas 16 (enam belas) tahun.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan usia muda di lokasi penelitian adalah: a. Budaya malu anak takut mendapat julukan perawan tua dan tidak laku nikah, b. Orang tua tidak mampu menyekolahkan anak kejenjang lebih tinggi, c. Calon mempelai perempuan sudah hamil terlebih dahulu, d. Pendidikan dan wawasan orang tua yang rendah, dan e. Lemahnya pengawasan penegakan Hukum
Sedangkan dampak yang ditimbulkan dari Perkawinan usia muda di lokasi penelitian adalah: a. Pelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga, b. Tidak harmonis dalam rumah tangga, c. Perceraian pasangan usia muda meningkat, d. Kehilangan kesempatan pendidikan, e. Kesehatan terhadap ibu dan anak.
C.2. Saran
Hendaknya pemerintah mengintensifkan sosialisasi UUP khususnya batasan usia perkawinan dan dampak-dampak negatifnya terhadap rumah tangga dan lingkungannya dari pasangan yang melangsungkan perkawinan usia muda.
Perlu adanya peraturan perundang-undangan yang menegaskan tentang umur yang ideal dalam melakukan suatu perkawinan yaitu dengan merivisi Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, seseorang melangsungkan perkawinan untuk wanita sudah mencapai umur 20 (dua puluh) tahun untuk pria sudah mencapai 25 (dua puluh Lima) tahun, kemungkinan dengan umur yang sekian kematangan dalam berfikir sudah matang.
—-

DAFTAR PUSTAKA

Abu, Arifin (1429 H) Membangun Rumah Tangga Sakinah, Penerbit Pustaka Sidogiri Pasuruan
Hamid, Abdul, (2010) Tuntunan Praktis Rumah Tangga Bahagia, Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Privinsi Jawa Timur.
Haditono, Sri Rahayu (2006) Psikologi Perkembangan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Mardani (2011 ) Hukum Perkawinan Islam,,Graha Ilmu Ruko Jambusari No.74 Yogyakarta.
M Z, Labib (2007) Konsep Perkawinan Dalam Islam, Putra Jaya Surabaya.
Ramulyo, Moh.Idris (2000) Hukum perkawinan,Hukum Kewarisan,Hukum acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Sinar Grafika
Raefi, M (2011) Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Kantor kementrian Agama, Lumajang.
Soejanto, Agoes (2005) Psikologi Perkembangan, PT Rineka Cipta, Jakarta
Sriyantini, Dwi (2006) Hukum Perdata (Diktat Kuliah), Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jendral Sudirman Lumajang.
Sarwono, Sarlito W (2012) Psikologi Remaja, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono (1986) Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
Vollmar, H.F.A (1981) Hukum Keluarga (Menurut KUH Perdata) disadur oleh: Ali,Tarsito, Bandung.
Walgito, Bimo (2000) Bimbingan dan Konseling Perkawinan, CV Andi Ofset, Yogyakarta
Undang-Undng Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung.
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan, dan Perwakafan). Nuansa Aulia, Bandung.
Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan